Minggu, 08 Januari 2012

MATA UANG TETAP CHINA DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI GLOBAL

A. Latar Belakang
Teori ekonomi tradisional memberi perhatian utama pada efisiensi, alokasi dan pemanfaatan sumber daya langka dengan cara yang paling hemat serta pertumbuhan optimal dari sumber daya langka tersebut sepanjang waktu guna menghasilkan produk dan jasa yang cakupannya semakin luas (Todaro, 2000). Pandangan yang juga disebut sebagai teori ekonomi klasik atau neo-klasik ini sampai sekarang masih banyak dianut oleh berbagai negara. Semakin banyak negara yang percaya bahwa perekonomian akan menjadi lebih baik, tumbuh pesat bila memiliki beberapa persyaratan seperti: tersedianya kapital yang mencukupi di pasar modal; adanya kedaulatan untuk memilih (adanya persaingan bisnis) bagi konsumen sehingga mengarah pada terbentuknya mekanisme penyesuaian harga secara otomatis; keputusan transaksi ekonomi didasarkan pada analisis marginal (rasio pertambahan input dibanding output, rasio keuntungan dan perhitungan utilitas); dan keseimbangan luaran (outcome) dalam semua produk dan pasar sumber daya ekonomi. Semua persyaratan tersebut mengindikasikan adanya rasionalitas dalam keputusan ekonomi yang sepenuhnya materialistik, individualistik, berorientasi pada kepentingan diri sendiri.
Dalam perkembangannya, ada masa ketika terjadi banyak kasus yang menunjukkan ekonomi neoklasik tidak dapat diterapkan secara mandiri. Ia memerlukan dukungan dan intervensi dari institusi lain (sosial dan politik) agar terus menjadi primadona model pembangunan ekonomi. Interaksi ekonomi dan praktik politik inilah yang kemudian mewarnai aktivitas ekonomi-politik di seantero bumi ini dalam beberapa dekade terakhir, termasuk ketika ekonomi kapitalis berhasil meruntuhkan kejayaan regim ekonomi terpusat di negara - negara sosialis-komunis. Runtuhnya pesaing kapitalis, dan mulai maraknya negara - negara eks sosialis-komunis mengadopsi ekonomi kapital, memutar jentera teori ekonomi neoklasik kembali ke posisi puncak.
China tak luput dari pengaruh neoklasik dan ekonomi politik. Perekonomian Cina berkembang dengan pesat sejak pemerintahan Deng Xiaoping mulai membuka belenggu perekonomian negara pada tahun 1979. Karpet merah digelar bagi investor asing yang membawa masuk modal ke China dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI). Tak heran, hingga akhir 1990-an Cina tercatat sebagai negara tujuan FDI terbesar di Asia. Setiap dorongan pertumbuhan ekonomi ditandai dengan gelombang baru China fever oleh perusahaan asing. Peningkatan ini didukung dengan munculnya manifestasi baru dari kapitalisme Cina, seperti perusahaan-perusahaan pribadi, kemakmuran konsumen, pabrik-pabrik ekspor, bursa saham, dan kantor partai komunis dalam suatu bisnis. Model perekonomian China ditandai dengan mobilisasi modal dan tenaga kerja secara besar-besaran, investasi asing, industri dalam skala besar, dan campur tangan pemerintah. Kemampuan China dalam memobilisasi modal dan tenaga kerja telah meningkatkan pendapatan per kapita hingga tiga kali lipat dalam satu generasi, dan mengurangi lebih dari 300 juta kemiskinan. (Mas Wirgantoro Roes Setiyadi).
Sejarah penetapan nilai tukar mata uang dimulai tahun 2005. Menurut Bachtiar Hasan Miraza, pada saat itu, tahun 2005, AS menekan China untuk menetapkan nilai tukar mata uang Yuan. Akhirnya ditetapkanlah nilai tukar Yuan menjadi 6,8 Yuan per satu dollar AS. Tidak ada yang menyangka bahwa pada tahun 2008 terjadi krisis keuangan global yang menghancurkan ekonomi AS dan menjatuhkan nilai tukar mata uang dollar terhadap semua mata uang dunia. Sementara China tetap memberlakukan nilai tukar Yuan seperti yang berjalan selama ini. Dengan demikian mata uang Yuan menjadi 'undervalued' (dinilai rendah terhadap mata uang asing). Keadaan ini dipertahankan China untuk seterusnya apalagi sangat mendorong daya saing ekspor China.
Bagi China, sebagai negara yang industrinya kuat, sangat berkepentingan dengan nilai tukar mata uangnya yang rendah. Dengan demikian ia bisa mengekspor barangnya dengan harga yang relatif murah. Bahkan lebih murah secara relatif jika dibandingkan dengan hasil produksi dalam negeri negara importir. Dengan cara ini maka cadangan devisa menjadi kuat dan dengan kuatnya cadangan devisa maka nilai tukar mata uangnya menjadi stabil. Stabil dalam pengertian mampu mendorong pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan ekonomi ('a reasonable degree of price stability'). Menurut catatan terakhir saat ini cadangan devisa China sudah mencapai $ 2,5 triliun, suatu jumlah yang terbilang cukup besar. Ini adalah hasil kerja kebijakan ekonomi China secara umum dan secara khusus adalah hasil kerja kebijakan perdagangan luar negeri China.

B. Dampak Pengetatan Mata Uang Yuan
Mikael Budisatrio mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi China paling tinggi di Asia. Hal ini terlihat dangan devisanya paling kuat. Mata uang yuan atau renminbi memang terus menguat. Jadi bahwa suatu saat diprediksi kalau mata uang renminbi akan menjadi tiga mata uang terkuat di dunia setelah euro dan dollar bisa jadi kenyataan. Karena memang sekarang produk-produk China pun membanjiri negara-negara di kawasan Asia bahkan diseluruh dunia. Hal ini terjadi karena ongkos produk¬si di China yang lebih murah men¬jadikan harga jualnya lebih murah. Menguatnya penggunaan Ren-minbi ini didukung pula oleh faktor penguatan hubungan dagang antar negara Asia dan semakin tingginya hubungan perdagangan kawasan Asia dengan dunia. Pemerintah China mengatakan tidak akan ada politisasi dalam kurs yuan. Meski telah berulangkali menolak kritik yang mengatakan nilai yuan terlalu rendah sehingga perusahaan-perusahaannya mendapat keuntungan lebih dari selisih per¬dagangan dengan mitra dagang me¬reka secara global. Mereka menga¬takan telah berusaha membuat nilai tukar yuan bergerak secara fleksibel. China berjanji untuk tetap waspada terhadap tanda-tanda krisis ekonomi, dan berupaya mempertahankan mata uang, perdagangan dan kebijakan luar negeri yang tegas untuk menjaga kestabilan, bukan untuk menghancurkan ekonomi global.
Beberapa ekonom meramalkan bahwa China akan mengejar Jepang untuk menjadi perekonomian terbesar kedua dunia dalam dua tahun ke depan, sehingga akan memberikan Beijing pengaruh yang lebih besar di panggung dunia. Angka yang akan dirilis minggu ini di Beijing menunjukkan perkiraan pertumbuhan ekonomi 9,5 persen pada kuartal ketiga, mempersempit kesenjangan dengan Jepang yang mungkin hanya membukukan pertumbuhan satu persen untuk periode itu. China diperkirakan akan menggeser pesaing dari Asia itu dari posisi yang telah digenggam selama lebih dari 40 tahun sampai 2010 atau 2011, meskipun kalangan analis mengatakan, pergeseran hierarki perekonomian global secara simbolis akan sangat besar dengan dampak pada perdagangan kecil.
Todd Lee, analis di IHS Global Insight, mengatakan China sudah dekat dengan Jepang secara keseluruhan, sehingga menjadi nomor dua di dunia tidak benar-benar memiliki implikasi substantif. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang cepat akan memberikan bobot yang lebih besar bagi China di arena global. Bank Dunia menyebutkan bahwa sebelum di landa krisis global, China telah membukukan pertumbuhan tahunan dua digit selama 2003-2007 dan kembali terjadi dalam dua kuartal pertama tahun 2008, mendongkrak produk domestik bruto menjadi 4,3 triliun dolar. Pembalikan China diperkuat oleh paket stimulus senilai empat triliun yuan (586 miliar dolar AS) dan pinjaman bank dalam paruh pertama mencapai 7,4 triliun yuan. Toyoo Gyohten, penasihat khusus kementerian keuangan Jepang, mengatakan meski China membuntuti tetangganya di Asia itu jauh di belakang dalam hal per kapita PDB, yang diletakkan kurang sedikit dari 4.000 dolar AS. Perhitungan sederhana akan menunjukkan bahwa China akan memerlukan sekitar 30 tahun untuk mencapai tingkat PDB per kapita seperti Singapura atau Jepang, yaitu sekitar 40.000 dolar.
Pertumbuhan ekonomi RRC rata-rata mencapai 10% per tahun dalam 20 tahun terakhir. Negara ini memiliki pasar yang besar; biaya yang rendah, angkatan tenaga kerja yang relatif berpendidikan; dan mempunyai komitmen terhadap pembangunan berbasis pasar. Mereka cukup besar untuk memasuki berbagai macam industri dan membangun banyak kelompok produksi dan jaringan usaha yang canggih secara bersamaan. Sebagai akibatnya, mereka menjadi magnet yang kuat untuk investasi dan lokomotif yang efektif bagi negara-nengara yang lain yang terhubung.
Pada sisi yang lain, dengan melemahnya nilai tukar Yuan terhadap Dolar AS akan membuat produk Cina lebih kompetitif dalam hal harga dibanding dengan produk negara lain. Hal itu membuat para pekerja mendapatkan pekerjaan karena banyak permintaan akan produksi untuk luar negeri. Dalam pertumbuhan perekonomian negara ini melaju paling kencang dengan tingkat pertumbuhan pada triwulan II-2010, ekonomi China tumbuh 10,3 persen, dari pertumbuhan 11,9 persen pada triwulan sebelumnya. Sehingga banyak mitra dagang China yang mengalami pelebaran defisit neraca perdagangan, termasuk AS. Pada tahun 2009, neraca perdagangan AS dengan China mengalami defisit lebih dari 220 miliar dollar AS. Angka tersebut meningkat tajam dari defisit neraca perdagangan satu dekade sebelumnya, yang hanya mencapai 69 miliar dollar AS. Dalam satu dekade tersebut, defisit neraca perdagangan AS dengan China meningkat 230 persen. Defisit yang semakin besar tersebut membuat tingkat pengangguran di Cina menurun serta tingkat upah meningkat.
Dalam hal ini Cina mencoba untuk memakmurkan warga negaranya sesuai dengan prinsip komunisme yang sampai saat ini masih dianut. Hal lain yang mungkin jadi pertimbangan ialah China tampaknya tidak ingin mengulangi kesalahan Jepang pada tahun 1980-an. Pada waktu itu, dollar AS dianggap terlalu kuat (sementara yen dianggap terlalu lemah) sehingga membuat daya saing produk AS menurun. Untuk mengatasinya, Pemerintah Jepang bersama Pemerintah AS, Perancis, Jerman, dan Inggris menandatangani perjanjian yang dikenal dengan Plaza Accord pada 22 September 1985. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah sepakat melakukan intervensi pasar dengan melibatkan bank sentral masing-masing negara. Tujuannya, mendevaluasi nilai tukar dollar AS, terutama terhadap yen Jepang, alasan utama pelemahan dollar AS tersebut adalah untuk mengurangi defisit neraca transaksi berjalan AS selain untuk membantu ekonomi AS pulih dari resesi yang dimulai pada awal tahun 1980. Intervensi yang melibatkan sekitar 10 miliar dollar AS tersebut akhirnya membuat nilai tukar dollar AS terhadap yen melemah. Pelemahannya cukup signifikan, yakni 51 persen dalam dua tahun setelah perjanjian Plaza Accord dilaksanakan. Defisit neraca transaksi berjalan AS menurun, bahkan pada bulan Maret 1991 AS kembali menikmati surplus neraca transaksi berjalan. Namun, bagi Jepang, kesepakatan Plaza Accord sepertinya lebih banyak membawa dampak negatif. Penguatan mata uang yen yang sangat signifikan dan terlalu cepat membuat daya saing produk ekspor Jepang menurun. Selain itu, pertumbuhan ekonomi Jepang juga menurun tajam. Dari pertumbuhan ekonomi sebesar 7,2 persen pada triwulan IV-1985 turun menjadi 1,6 persen setahun kemudian. Dan hal inilah yang coba dicegah oleh pemerintah Cina.
Namun, seperti ketika menghadapi "perang ekonomi" AS-Jepang pada 1980-an, AS beru¬saha menekan Cina untuk menaikkan nilai mata uangnya. Dalam pertemuan tingkat tinggi AS-China akhir Juli 2009 lalu, pemerintah AS menuding rendahnya nilai mata uang Cina menyebabkan harga produk AS menjadi jauh lebih mahal, berbanding terbalik dengan harga-harga produk Cina yang jauh lebih murah. Mengantisipasi tekanan AS ini, Cina berupaya menyerang balik AS dengan menyu¬arakan perlunya mata uang alternatif dunia di luar dollar AS.
Dengan ungkapan lain, dinamika ekonomi Cina kini tengah mengalami pergeseran signifikan dari sistem ekonomi terpusat-terencana ke sistem ekonomi pasar yang berporos pada kedaulatan dan kreativitas individual; yang sesungguhnya menjadi ciri dari moda ekonomi masyarakat kapitalis. Dengan pergeseran ini, ruang partisipasi publik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kian diperluas; di samping memanfaatkan etos Konfusianisme bangsa Cina yang ratusan tahun telah dikenal sebagai bangsa pedagang ulet. Seperti di kemukakan sosiolog Max Weber dan Robert Bellah, tradisi Konfusianisme (Cina) dan Tokugawaisme (Jepang) memiliki etos yang mirip dengan tradisi kapitalisme, yang menimba sumber inspirasi religiusitasnya dari nilai-nilai Protestanisme.
Namun, yang menganggumkan dari Cina, gerak menuju pun¬cak kekuatan ekonomi dunia justru di dimulai dari kendali rezim otoriter yang opresif dan anakronistik. Fenomena Cina jelas di luar kelaziman, amat berbeda dengan pengalaman negara-negara Eropa dan Amerika, dimana kemajuan ekonomi di negara-negara industri maju ini hanya tumbuh dan berkembang di bawah sistem politik de¬mokrasi. Pola di luar kelaziman ini juga kerap disebut banyak pihak sebagai "kapitalisme dengan didukung penuh negara" atau "pasar kapitalisme tanpa demokrasi" (China Modernizes: Threat to the West or Model for the Rest, 2008).
Proses demokratisasi di Cina rupanya mengambil jalannya sendiri, tidak dilakukan secara gegabah meniru Barat. Negara tetap memegang kendali secara solid, tetapi ruang gerak masyarakat untuk berusaha justru didorong dengan kebijakan desentralisasi daerah. Individu dan masyarakat didorong untuk mengembangkan "eko¬nomi inovatif". Mesin produktivitas Cina saat ini adalah buruh yang murah, inovasi, dan menggeliatnya kapitalisme dengan pangsa pasar yang sangat besar. Tidak mengherankan bahwa Cina juga dikenal sebagai tukang bajak kekayaan intelektual terbesar di dunia.
Meski mendatangkan keuntungan besar, barang bajakan dan tiruan akan mengancam Cina kalau dunia kehilangan kepercayaan. Dunia pun sekarang tengah berspekulasi, ke mana arah kemajuan Cina, apakah akan mengancam negara lain (terutama negara-negara Barat yang selama ini menjadi jantung kapitalisme dan menjadi hegemoni ekonomi global) atau mendorong kemakmuran dan perda¬maian dunia. Namun, perlu diakui, dalam tiga dekade terakhir Cina mampu mengentaskan 400 juta penduduknya (terutama para petani desa) dari lumpur miskin.
Yang pasti, sebagai bangsa multietnis dengan penduduk lebih dari 1,2 miliar, sulit bagi siapa pun untuk mewujudkan reformasi dan demokratisasi tanpa gejolak jika tidak ada strong leadership dan kepemimpinan berkarakter.

C. Dampak Ekonomi Global
Berdasarkan pada latar belakang dan paparan diatas, maka secara global, dampak yang ditimbulkan dari pengetatan mata uang Yuan di China dapat kategorikan sebagai berikut :
1. Labor Market
Sebagai sebuah negara dengan jumlah penduduk yang besar (sekitar 1,3 milyar) bukanlah perkara sulit bagi China untuk mendapatkan tenaga kerja yang potensial. Apalagi didukung dengan dunia pendidikan yang berkembang dengan pesat dan menghasilkan alumni yang mumpuni. Perekonomian dalam jangka panjang harus dengan investasi pendidikan yang tidak serta merta dirasakan manfaatnya saat ini tetapi dalam jangka waktu yang lama kedepan. Dalam ilmu ekonomi, jika jumlah tenaga kerja melimpah maka akan membuat tingkat pendapatan tenaga kerja akan turun. Dengan demikian, China dapat memproduksi barang dan jasa dalam jumlah besar dengan harga yang relatif murah karena perusahaan-perusahaan di China mempekerjakan tenaga kerja yang juga murah karena supply tenaga kerja yang demikian besar. Selain itu, semakin besar jumlah barang dan jasa yang diproduksi maka biaya perunit barang dan jasa tersebut akan semakin rendah. Disinilah keunggulan komparatif yang dimiliki negara China.
2. Struktur Perekonomian Negara
Struktur perekonomian negara China yang cenderung kapitalis walaupun dalam sistem politiknya adalah komunis membuat negara ini dianggap mampu menyatukan sesuatu yang sifatnya bertolak belakang. Peran negara dalam mengontrol kebijakan fiskal dan moneter baik yang kontraktif maupun ekspansif sangat determinan.
3. Financial Market
Laju Foreign Direct Investment (FDI) yang masuk secara besar-besaran di China pada era tahun 1990 – 2000 mampu dikelola secara bijak oleh negara tersebut yang hasilnya sangat positif pengaruhnya terhadap perekonomian negara tersebut sampai sekarang. China menjadi salah satu negara tujuan investasi yang demikian besar apalagi beberapa perusahaan multinasional membangun pabriknya di China karena ketersediaan tenaga kerja yang demikian besar.
4. Goods Market
Perdagangan barang dan jasa di seluruh dunia hampir dikuasai oleh produk-produk buatan China yang sangat leluasa melenggang masuk ke negara lain di dunia. Apalagi beberapa kawasan telah melakukan perjanjian Free Trade Agreement (FTA) dengan China. Contoh paling anyar adalah CAFTA yang belakangan kemudian dianggap sangat merugikan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ini tidak terlepas dari biaya produksi produk China yang demikian murah bahkan jauh dibawah harga di negara yang menjadi tujuan ekspor produknya pada produk yang sifatnya subtitusi maupun komplemen.
5. Economic Growth
Pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di China selama 10 tahun terakhir telah membuat kawasan regional Asia ikut meningkat tajam. Apalagi India ikut memberi andil dalam peningkatan ekonomi yang oleh sebagian pengamat dikatakan sebagai “kebangkitan regionalisme Asia” dimana pasar yang sangat besar dan mencapai 1,9 milyar orang apalagi banyak diwarnai oleh kalangan menengah yang memiliki tingkat pendapatan diatas rata-rata. Hal ini penting dalam pembangunan kawasan Asia yang belakangan banyak dilirik sebagai daya tarik investasi baru setelah krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan Kawasan Uni Eropa. Daya tarik tersebut dapat berupa pangsa pasar yang besar, ketersediaan tenaga kerja dan upah yang murah, serta iklim yang kondusif untuk berusaha.
6. Kinerja Ekspor
Setelah China menguasai pasar barang baik di regional Asia maupun secara global diseluruh dunia, praktis banyak negara yang mengalami deficit perdagangan dengan China. Bahkan, cenderung mematikan kinerja ekspor negara yang bersangkutan yang tentunya berimplikasi terhadap iklim investasi didalam negeri. Banyaknya perusahaan yang gulung tikar akibat merugi, PHK massal dibeberapa negara dan berujung pada tingginya tingkat pengangguran dinegara tersebut.
7. Indikator Makro
Yang termasuk dalam indikator makro adalah output aggregate yakni Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat inflasi dan pengangguran. PDB yaitu jumlah total barang dan jasa akhir yang diproduksi oleh sebuah negara dalam kurun waktu tertentu. Produk Domestik Bruto China sangat tinggi. Tingkat inflasi dan penggangguran di China bisa dikendalikan dengan baik oleh pemerintah sehingga tidak terlalu mempengaruhi pendapatan nasionalnya.
8. Daya Saing
Daya saing barang dan jasa yang dihasilkan akhir-akhir ini banyak mendapat perhatian. Jika ingin menguasai perdagangan barang dan jasa diseluruh dunia maka hal ini patut menjadi perhatian yang utama dan terutama. Daya saing produk di pasar global akan memberi pengaruh terhadap tingkat pendapatan suatu negara yang memproduksi barang/jasa tersebut. Daya saing produk China terutama dari sisi harga yang murah dan mutu yang kompetitif menjadikan barang China laris manis dipasaran dunia.
9. Trade
Lalu lintas barang/jasa yang pesat akan memberi pengaruh yang positif terhadap peningkatan produktivitas sebuah negara. Semakin ramai dan lancar lalu lintas itu maka dinamika perekonomian juga akan semakin membaik. Olehnya itu, beberapa negara kemudian membuat kesepakatan untuk menghilangkan barrier yang berpotensi mengurangi arus barang/jasa dari dan ke negara yang bersangkutan. Olehnya itu, China kemudian membuat kesepakatan berupa Free Trade Agreement (FTA) untuk menghindari barrier tersebut. Dampak yang terjadi adalah pesatnya arus barang/jasa yang baik dari China maupun kepada negara-negara lainnya di dunia.

D. ANALISA
Dari kondisi tersebut diatas, maka dapat diambil sebuah pelajaran bahwa pengetatan mata uang Yuan akan memberi dampak ekonomi yang positif bagi negara China yang terlihat dari indikator makroekonomi berupa Produk Domestik Bruto (PDB), tingkat Inflasi dan tingkat pengangguran, tetapi akan sangat merugikan negara lain sebagai mitra dagangnya. Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pengetatan mata uang Yuan tersebut berdampak besar terhadap labor market, struktur perekonomian negara, financial market, goods market, economic growth, kinerja ekspor, daya saing, stabilitas makro dan perdagangan dunia secara global. Semua ahli ekonomi tentu akan sepakat bahwa dalam kesepakatan perdagangan antar negara tidak boleh ada negara yang sangat diuntungkan dan disisi lain negara yang lainnya akan menderita banyak kerugian. Olehnya itu perlu dilakukan reagreement yang menempatkan kedua belah pihak (negara) yang terlibat dalam sebuah kesepakatan perdagangan dalam posisi yang setara dan saling menguntungkan.

Bahan Bacaan :
1. Mas Wirgrantoro Roes Setiyadi, . Di Balik Sukses China dan India
2. Bactiar Hasan Miraza, Penetrasi Ekonomi China
3. Starberita, 2010. China Akan Pertahankan Kebijakan Mata Uang
4. Berita2.com.2009. China Kalahkan Kekuatan Ekonomi Jepang Dua Tahun Lagi
5. Jurnal Sosial Demokrasi, 2010. Perdagangan Bebas Asean – China; Berdagang Untuk Siapa?
6. Rizki E. Wimanda & Akhis R. Hutabarat, 2005. Dampak Relaksasi Mata Uang China Yuan dan Malaysia Ringgit Terhadap Perekonomian Indonesia. Occasional Paper.
7. MedanBisnis. Apresiasi Yuan Akan Tingkatkan Perdagangan China. Edisi 29 September 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar