Kamis, 06 Desember 2012

Tesisku (BAB II)

BAB 2 KAJIAN LITERATUR 2.1.Belanja Pemerintah Distribusi adalah proses pemerataan barang dan jasa kesuatu wilayah tertentu. Proses pemerataan itu sendiri bisa melalui alat transportasi maupun melalui kebijakan. Dampak adalah pengaruh yang dihasilkan dari suatu perbuatan atau tindakan. Menurut Demery (2000) pemberian layanan dasar kepada masyarakat miskin merupakan salah satu instrumen yang paling efektif dari pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan. Demery (2000) dalam Galata Conda Prihastanto (2011) belanja pemerintah dapat memberikan dampak bagi masyarakat dalam berbagai bentuk sebagai berikut: 1. Kebijakan fiskal ini mempengaruhi keseimbangan perekonomian makro seperti defisit fiskal dan perdagangan dan tingkat inflasi. Perubahan ini mempengaruhi standar hidup baik secara langsung melalui peningkatan pendapatan riil dan tidak langsung melalui perubahan tingkat pertumbuhan ekonomi. 2. Belanja publik menciptakan pendapatan secara langsung dan mungkin diantaranya memberikan manfaat untuk keluarga miskin. Pendapatan ini akan menciptakan pendapatan lain melalui efek berganda pendapatan dan pengeluaran tersebut. 3. Belanja publik merupakan transfer kepada masyarakat, transfer dapat berupa uang tunai, seperti bantuan sosial atau pembayaran asuransi sosial dan in kind seperti subsidi pada layanan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Transfer dalam bentuk in kind dapat meningkatkan standar hidup penerima manfaat secara langsung dan juga potensi pendapatannya dalam jangka panjang. Menurut Lionel Demery, (2000) belanja publik akan banyak bermanfaat bagi masyarakat miskin apabila : 1. Belanja pemerintah akan efektif mengurangi tingkat kemiskinan ketika kebijakan yang diambil itu tepat. Belanja publik dalam pendidikan dasar terhadap kaum perempuan akan sia-sia jika ada pembatasan terhadap kaum perempuan ketika akan memasuki dunia kerja dan jaminan untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Bagaimana mungkin meningkatkan anggaran untuk pertanian dan penelitian tapi hasil pertaniannya tidak memberikan hasil yang menguntungkan. Belanja yang pro masyarakat miskin harus disinkronisasikan dengan kebijakan yang pro masyarakat miskin. 2. Proses belanja pemerintah (termasuk manajemen anggaran, akuntabilitas, transparansi, dan lain lain) harus berorientasi pada hasil akhir dan dampak langsungnya terhadap masyarakat miskin dan bukan terpokus pada berapa banyak yang dibelanjakan. 3. Kebijakan publik harus umum dan belanja pemerintah harus secara khusus, harus berdasar pada analisa kebutuhan dan tingkat populasi penduduk yang menjadi sasaran. Dalam hal ini penting untuk dilakukan kolaborasi antara pemerintah dengan masing-masing rumah tangga. Agar kolaborasi tersebut efektif maka perlu dilakukan komunikasi dua arah antara keduanya. Pemerintah wajib mendengarkan kebutuhan-kebutuhan masyarakat/rumah tangga dan masyarakat/rumah tangga haru mengetahui tujuan daripada kebijakan pemerintah tersebut. Menurut Aaron dan Mc Guire (1970) dalam Lionel Demery, bahwa solusi yang tepat untuk mengetahui apakah dampak belanja pemerintah itu dirasakan langsung oleh masyarakat miskin adalah bahwa masyarakat miskin yang menjadi sasaran belanja pemerintah harus bisa melakukan evaluasi secara individu terhadap nilai barang/jasa publik tersebut dengan melihat pada kebutuhnnya dan harga normalnya. Hal ini terjadi karena perbedaan kebutuhan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Hal lain dikemukakan oleh Brennan (1976) bahwa pendekatan kebutuhan tidak terlalu baik tapi yang penting adalah menilai barang/jasa publik berdasar pada marginal costnya. Akibat dari perbedaan pendapat ini, akhirnya berkembang dua pendekatan dalam menilai manfaat belanja pemerintah terhadap masyarakat miskin. Pertama, Aaron dan Mcguire (1970) mendasarkan pada preferensi individu terhadap kebutuhannya akan barang/jasa publik. Hal ini diistilahkan oleh Van Den Walle (1998) sebagai Behavioral Approach. Pendekatan ini dibangun atas dasar teori makro ekonomi bahwa kebutuhan dan pengetahuan terhadap barang/jasa tergantung pada rumah tangga/individu. Kedua, melalui pendekatan Benefit Incidence Analysis (BIA) yang mengkombinasikan antara biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan distribusi manfaat langsung yang diterima oleh masyarakat. Pendekatan ini di populerkan melalui penelitian oleh Selowsky (1979) di Kolombia dan Meerman (1979) di Malaysia. Masalah seputar keuangan daerah muncul seiring dengan perkembangan sistem dan tata nilai otonomi. Pada tahun 2002 muncul Kepmendagri Nomor 29 yang mengenalkan sistem penyusunan anggaran baru yang dikenal dengan sistem penganggaran berbasis kinerja. Penyusunan anggaran berbasis kinerjamempunyai dampak yang signifikan bagi pelaksanaan program pembangunan, karena sistem ini mengaitkan antara pemanfaatan anggaran daerah dengan nilai manfaat program yang diterima masyarakat, sehingga penganggaran dan pelaksanaan program pembangunan diharapkan menjadi lebih efektif. Namun demikian pada awal tahun penerapannya, sistem ini menimbulkan kendala ketidaksiapan aparat di daerah dalam pengaplikasiannya. Melalui sistem penganggaran yang baru ini diharapkan terjadi perubahan volume belanja publik untuk lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, karena selama ini volume belanja publik selalu tidak proporsional dibandingkan dengan belanja aparatur (Nurdin, 2006). Pelaksanaan otonomi daerah yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004 telah mengubah manajemen pelayanan publik. Semula, semua bidang pelayanan pemerintah merupakan kewenangan pemerintah pusat sekarang bergeser ke pemerintah daerah kecuali untuk beberapa bidang yang masih menjadi wewenang pusat seperti kebijakan luar negeri, pertahanan, keamanan, fiskal, moneter dan agama. Pembagian kewenangan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2000 sebagaimana terakhir diubah dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, Utami, 2010 (Galata Conda Prihastanto, 2011). Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 26 (1), bahwa belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan (2) Belanja penyelenggaraan urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diprioritaskan untuk melindungi masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan system jaminan sosial (Mutiara Maemunah, 2006). 2.2.Pendidikan Sebagai Barang Publik Rosen (2002) dalam Prihastanto (2011) barang publik mempunyai ciri non rivalry dan non excludable. Non rivalry berarti sekali suatu barang disediakan maka biaya tambahan bagi orang lain yang mengkonsumsi barang tersebut adalah nol. Non excludable berarti sulit atau sangat mahal mencegah orang lain untuk menikmati barang tersebut. Stigliz (2000) dalam Prihastanto (2011) menggolongkan pendidikan sebagai barang privat karena bersifat rivalry dan excludable. Pendidikan merupakan barang yang mempunyai marginal cost lebih dari nol berbeda dengan barang publik yang memiliki marginal cost sebesar nol. Hal ini berarti penambahan setiap individu yang menggunakan pendidikan akan meningkatkan biaya secara signifikan. Jika penyediaan pendidikan hanya diserahkan kepada pasar dengan mekanisme harga maka pasar akan menetapkan harga tinggi. Penyediaan pendidikan oleh swasta saja akan menciptakan kondisi jumlah pemerataan pendidikan di bawah permintaannya. Kondisi tersebut disebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan akibat harga penawaran yang diberikan oleh pihak swasta sebagai penyedia layanan pendidikan tidak dapat di jangkau oleh masyarakat. Manasan (2007) dalam Prihastanto (2011) ada beberapa hal yang mendasari pemerintah melakukan belanja publik untuk sektor pendidikan yaitu : 1. Pendidikan khususnya pendidikan dasar secara umum memberikan keuntungan bagi masyarakat daripada pribadi atau dengan arti lain pendidikan dasar mempunyai eksternalitas positif yang kuat. 2. Keuntungan dari pendidikan tidak sepenuhnya diterima oleh orang tua maka sebagian besar dari mereka khususnya kelompok miskin mengambil keputusan untuk tidak memberikan kesempatan kepada anaknya bersekolah. 3. Biaya pendidikan khususnya pendidikan tinggi biasanya tidak dapat dijangkau oleh keluarga miskin di banyak negara dan mereka juga mengalami kesulitan meminjam uang untuk biaya sekolah dari lembaga keuangan. 4. Pendidikan merupakan faktor yang menentukan tingkat pendapatan individu kedepan dan resep utama untuk keluar dari lingkaran kemiskinan. 2.3.Desentralisasi Fiskal Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia (Wasitohadi, 2008). Desentralisasi dapat didefinisikan sebagai transfer wewenang atau kekuasaan dalam perencanaan publik manajemen dan pebuatan keputusan dari level nasional ke level sub nasional atau secara umum dari level yang tinggi ke level yang lebih rendah dalam pemerintahan. Desentralisasi juga meliputi perubahan hubungan kekuasaan dan distribusi tindakan diantara level pemerintahan (Mills, 1984 dalam Afridian Wirahadi Ahmad, 2008). Sedangkan menurut Hirawan (2007) desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab (akan fungsi-fungsi publik) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Semakin besar suatu negara, (dilihat dari penduduk dan luas wilayah) maka biasanya semakin kompleks dan “heterogen” pemerintahannya yang tercermin dari tingkatan pemerintah daerah. Litvack (1999) dalam Hirawan (2007) membagi desentralisasi itu menjadi 3 jenis yakni : 1. Desentralisasi politik, melimpahkan kepada daerah kewenangan yang lebih besar menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standard an berbagai peraturan. 2. Desentralisasi administrasi, berupa redistribusi kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya diantara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas yang memadai disertai kelembagaan yang cukup baik disetiap tingkat merupakan syarat agar hal ini bisa efektif. 3. Desentralisasi fiskal, menyangkut kewenangan menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi. Syahruddin (2006) dalam Afridian (2008) mendefinisikan desentralisasi fiskal sebagai wewenang (authority) dan tangggungjawab (responsibility) dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pengawasan anggaran daerah (APBD) oleh pemerintah daerah. Sedangkan Ferdiana dkk (2008) dalam Afridian (2008) desentralisasi fiskal adalah pemindahan kekuasaan untuk mengumpulkan dan mengelola sumber daya financial dan fiskal. Sidik (2002) dalam Afridian (2008) Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaamn pelayanan di sektor publik, maka mereka harus didukung sumber-sumber keuangan yang memadai yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) termasuk surcharge of taxes, bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat. Hirawan (2007) mengemukakan bahwa secara eksplisit, manfaat dari kebijakan desentralisasi terhadap layanan publik dan orang miskin adalah : 1. Desentralisasi dapat mendorong partisipasi dari orang miskin yang difasilitasi dengan pengeluaran investasi pemerintah yang pro orang miskin. 2. Desentralisasi dapat membantu pemerintah daerah memperbaiki efisiensi dari pelaksanaan layanan publik untuk rakyat (miskin) dan pentargetan dari program transfer secara efisien. 2.4.Desentralisasi Pendidikan Menurut Djalal (2001) dalam Wasitohadi (2008) era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pergeseran arah paradigm pendidikan dari paradigm lama ke paradigm baru meliputi berbagai aspek mendasar yang saling berkaitan yaitu; 1) dari sentralistik menjadi desentralistik, 2) dari kebijakan yang top down ke kebijakan yang bottom up, 3) dari orientasi pengembangan parsial menjadi orientasi pengembangan holistic, 4) dari peran pemerintah sangat dominan ke meningkatnya peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif serta 5) lemahnya peran institusi non sekolah ke pemberdayaan institusi masyarakat, baik keluarga, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pesantren maupun dunia usaha. Kasih dan Suganda (1999) dalam Daulay (2008) mengemukakan ada beberapa hal yang berkaitan dengan pemerataan pendidikan yaitu pertama, pemerataan atau perluasan kesempatan belum bisa diartikan sebagi pemerataan partisipasi karena dari pemerataan kesempatan menjadi pemerataan partisipasi masyarakat ada dua hal yang penting, 1) kemauan dan 2) kemampuan calon partisipan. Dengan demikian, meskipun kesempatan untuk berpartisipasi dibuka seluas-luasnya, pasti tidak mungkin seluruh angkatan usia 14 – 19 tahun menjadi partisipan. Kedua, ide tentang perluasan kesempatan banyak mendapat dukungan dan kenyataannya memang sudah banyak diperbincangkan. Ide pemerataan juga disadari oleh kalangan stakeholder akan tetapi masih belum berani melakukan koreksi internal radikal terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah dilaksanakan tetapi tidak sejalan dengan konsep pemerataan itu. Ketiga, dalam praktek pelaksanaan pengelolaan pendidikan SMK sehari-hari, ide pemerataan makin terbenam dengan adanya aturan-aturan operasional serta system seleksi diterapkan dalam menerima siswa baru. Keempat, besarnya jumlah lulusan sekolah menengah tidak dapat dipungkiri dapat menjadi investasi keliru, menimbulkan pengangguran dan dapat menjadi beban pembangunan. Kelima, pemerataan dan kualitas memang merupakan dua hal yang berkaitan, tetapi ada pendapat spekulasi yang menyatakan bahwa dengan pemerataan maka kualitas pendidikan akan menurun. Barangkali yang benar bukanlah “akan” tetapi “bisa”. Daulay (2008) pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan didalamnya tergantung tiga (3) hal yaitu equalitas, aksesibilitas dan equitas. Equalitas berarti bahwa setiap orang mempunyai peluang yang sama untuk memperoleh pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin, status sosial ekonomi, agama dan lokasi geografis. Aksesibilitas berarti bahwa setiap orang tanpa memandang asal usulnya mempunyai akses yang sama terhadap pendidikan pada semua jenis, jenjang maupun jalur pendidikan. Equitas berarti keadilan yang mengandung implikasi adanya “perbedaan” perlakuan menurut kondisi internal dan eksternal peserta didik. Dari keadaan perekonomian saat ini, kiranya perlu untuk mengimplementasikan suatu kebijakan pendidikan yang berakses terhadap kemiskinan dan keterbelakangan menurut Daulay (2008) yang terdiri dari : 1. Pendidikan untuk masyarakat kurang mampu yang jumlahnya masih cukup besar dapat menjadi lebih ekonomis, sebab dapat digunakan untuk membangun angkatan kerja terdidik atau terlatih secara teknis. 2. Menjadi kebutuhan sosial untuk merangsang dinamika serta pengembangan yang sesuai dengan sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” juga asas demokrasi pancasila. Dampak kebijakan menurut Rein (1976) dan Usman (1993) dalam Daulay (2008) tergantung pada dua (2) perspektif yaitu; 1) perspektif yang memfokuskan perhatiannya pada alokasi sumber daya (resources allocation) dan 2) perspektif yang memfokuskan perhatiannya kepada penampilan kelembagaan (institusional performance). Kotter (1997) dalam Wasitohadi (2008) lembaga yang terdesentralisasi memiliki beberapa keunggulan antara lain; 1) lebih fleksibel, dapat memberikan respon yang lebih cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang selalu berubah, 2) lebih efektif, 3) lebih inovatif dan 4) menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi, lebih komitmen dan lebih produktif. Bray dan Fiske (Depdiknas, 2001) desentralisasi pendidikan adalah suatu proses dimana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan. Sedangkan Husen & Postlethwaite (1994) mengartikan desentralisasi pendidikan sebagai pembagian kewenangan dari level pemerintah yang lebih tinggi seperti departemen pendidikan nasional kepada daerah otonom atau bisa juga dari daerah otonom kepada organisasi sekolah yang ada di bawahnya. Gaffar (1990) menyarankan desentralisasi pendidikan merupakan sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada keberagaman dan sekaligus sebagai pelimpahan wewenang dan kekuasaan dalam pembuatan keputusan untuk memecahkan berbagai problematika sebagai akibat ketidaksamaan geografis dan budaya baik menyangkut substansi nasional, internasional maupun universal sekalipun (Wasitohadi, 2008). Pendidikan perlu untuk didesentralisasikan, Husen & Postlethwaite (1994) menguraikan alasan pentingnya desentralisasi pendidikan yakni; 1) peningkatan kapasitas sekolah, 2) partisipasi lokal sebagai sebuah bentuk logis dari pemerintahan yang demokratis, 3) berhubungan nilai-nilai fundamental seperti kebebasan, kesamaan hak, fraternity, efisiensi dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Fiske (1998) menyebutkan ada empat (4) alasan rasional diterapkannya system desentralisasi termasuk pendidikan yakni; 1) alas an politis, seperti untuk mempertahankan stabilitas dalam rangka memperoleh legitimasi pemerintah pusat dari masyarakat daerah, sebagai wujud penerapan ideology sosialis dan laissez-faire dan untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi, 2) alas an sosio-kultural, yakni untuk memberdayakan masyarakat lokal, 3) alas an teknis administrative dan paedagogies, seperti untuk memangkas manajemen lapisan tengah agar dapat membayar gaji guru tepat waktu atau untuk meningkatkan antusiasme guru dalam proses belajar mengajar, 4) alasan ekonomi-finansial, seperti meningkatkan sumber daya tambahan untuk pembiayaan pendidikan dan sebagai alat pembangunan ekonomi. Huda (1998) desentralisasi pendidikan di Indonesia dimaksudkan untuk mencapai efisiensi pendidikan dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat lokal dengan alasan; 1) secara politik, desentralisasi adalah cara mendemokratiskan manajemen urusan-urusan publik, 2) secara teknis adalah sulit untuk mengelola pendidikan secara efisien di dalam sebuah wilayah yang luas yang berisi banyak pulau, 3) efisiensi dan efektifitas dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan, 4) untuk mengurangi beban administrasi yang berlebihan dari pemerintah pusat (Wasitohadi, 2008). Tujuan desentralisasi pendidikan adalah untuk memperbaiki proses pengambilan keputusan dengan melibatkan lebih banyak stakeholder di daerah untuk menghasilkan integrasi sekolah dengan masyarakat lokal secara terus menerus, untuk mendekatkan sekolah dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat dan akhirnya untuk memperbaiki motivasi, kehadiran dan pencapaian murid. Selain itu, desentralisasi pendidikan juga memberikan kesempatan kepada rakyat atau masyarakat luas untuk berpartisipasi secara aktif dan kreatif sehingga pendidikan mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang akan bermanfaat bagi pembangunan daerah (Wasitohadi, 2008). 2.5.Anggaran Pendidikan Dalam garis besarnya, pemerintah mempunyai dua kelompok fungsi yaitu, fungsi ekonomi dan fungsi non ekonomi. Fungsi ekonomi oleh Musgrave (1973) dalam Syaharuddin (2006) disebut sebagai fungsi anggaran yang terdiri dari : 1. Fungsi Alokasi (Allocation Function). Fungsi alokasi ini dilakukan untuk menjaga efisiensi anggaran. Efisiensi dapat terwujud apabila memenuhi 4 (empat) isu penting yakni: a) barang dan jasa apa yang akan disediakan oleh pemerintah, 2) berapa jumlahnya, 3) bagaimana cara penyediaannya, dan 4) siapa yang bertanggungjawab dalam mengambil keputusan penyediaan barang dan jasa tersebut. 2. Fungsi Distribusi (Distribution Function). Fungsi distribusi dalam hal ini bertujuan untuk mengurangi perbedaan-perbedaan pendapatan antar individu dalam masyarakat. Distribusi pendapatan yang optimal adalah merupakan isu utama dalam pelaksanaan fungsi ini. Distribusi yang optimal sulit untuk dijelaskan secara tepat. Oleh karena itu, kebijakannya mengarah kepada mempercepat pertambahan pendapatan masyarakat kelompok berpenghasilan rendah (masyarakat miskin). 3. Fungsi Stabilisasi (Stabilitation Function). Fungsi ini bertujuan untuk menciptakan kestabilan ekonomi. Kestabilan ekonomi dapat tercipta bila ekonomi berada pada posisi seimbang. Ketiga fungsi ini perlu mendapat tempat yang sesuai dengan pengambilan keputusan penyediaan barang publik bagi kesejahteraan masyarakat baik ditingkat pusat maupun di tingkat daerah. Wahyudi (2004) mengemukakan bahwa upaya untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan pendidikan harus dilakukan secara terintegrasi baik dari sisi proses penyelenggaraan maupun pembiayaannya. Oleh karena itu, diperlukan dukungan semua pihak baik pemerintah pusat, pemerintah daearh maupun masyarakat. dalam hal dukungan financial, pada kondisi dimana kontribusi pemerintah masih kecil daripada partisipasi masyarakat, maka komitmen pemerintah pusat maupun daerah dengan meningkatkan pengalokasian anggaran untuk mendukung keberhasilan program wajib belajar sembilan tahun sangat diperlukan. Tabel 2.1. Alokasi Anggaran Pendidikan dalam APBN Periode Tahun Anggaran 2001 – 2010 Tahun Anggaran Pendidikan (dalam Milyar) Persentase Anggaran Pendidikan terhadap APBN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 13.945 19.512,93 20.435,80 21.628,80 33.397,60 44.109,50 53.067,10 158.520,10 207.413,50 225.200,00 4,42 5,87 5,98 6,18 6,18 10,10 10,50 18,50 20,00 20,00 Sumber : APBN TA 2001-2010 (Utami 2010, Prihastanto, 2011) Perihal pembiayaan pendidikan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 tahun 2007, pemerintah pusat bertanggung jawab untuk memberikan pedoman menyeluruh tentang dukungan keuangan bagi setiap tingkat pendidikan program. Pemerintah pusat bertanggung jawab utama untuk menyediakan sumber dana bagi tingkat pendidikan tinggi. Selain tugas utama tersebut pemerintah pusat mempunyai tanggung jawab tambahan dalam pembiayaan pendidikan yakni memberikan bantuan tambahan atau subsidi untuk pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal serta layanan pendidikan khusus. Sementara bagi pemerintah provinsi, tanggung jawab utamanya mencakup penyediaan keuangan bagi pendidikan menengah umum dan pendidikan kejuruan serta pendidikan luar biasa. Pemerintah provinsi juga mendapatkan tanggung jawab tambahan untuk memberikan bantuan tambahan atau subsidi bagi pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan nonformal serta pendidikan tinggi. Pemerintah kabupaten/kota mempunyai tanggung jawab utama untuk menyediakan sumber dana bagi pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan nonformal. Pemerintah kabupaten/kota tidak bertanggung jawab untuk memberikan bantuan tambahan atau subsidi pada layanan pendidikan lainnya seperti tanggung jawab yang ada pada pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Dengan demikian, belanja pendidikan pemerintah kabupaten/kota hanya fokus pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan pendidikan nonformal (Prihastanto, 2011). Menurut Mawardi dan Sumarto (2003) mengemukakan bahwa dalam wacana yang lebih luas, kebijakan pro-poor budget sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari prinsip-prinsip penganggaran yang baik. IMF (International Monetary Fund), dan FITRA (Forum Transparansi Anggaran) (2001), mengidentifikasi prinsip-prinsip umum penganggaran yang baik antara lain dicirikan oleh faktor – faktor sebagai berikut : a. Transparan: Beberapa indikator yang dapat dijadikan acuan antara lain, pertama, dokumen anggaran dapat dengan mudah diakses oleh publik. Kedua, dibukanya akses/partisipasi aktif publik dalam proses perumusan program dan pengambilan keputusan. Hal ini antara lain diindikasikan oleh; 1) Dalam proses penyusunan anggaran dibuka ruang bagi keterlibatan publik secara langsung; 2) Adanya hubungan yang kuat antara program dan nilai alokasi anggaran dengan kondisi aktual kebutuhan masyarakat; dan 3) Prosentase usulan publik yang dijadikan acuan dalam penyusunan dan penetapan nilai anggaran. Hal ini akan tercermin dari nilai keputusannya itu sendiri, seperti seberapa besar penetapan anggaran mengakomodir kepentingan publik, khususnya masyarakat miskin dan masyarakat berpenghasilan rendah. Ketiga, adanya kebijakan yang memberikan tempat/ruang kontrol dan monitoring oleh lembaga independen dan masyarakat, baik secara perorangan maupun kelembagaan sebagai media “checks and balances". Keempat, adanya prosedur pertanggungjawaban pelaksanaan/pengelolaan keuangan (negara dan daerah) yang transparan dan menjamin hak informasi publik. b. Rasional : Perhitungan besaran penerimaan dan pengeluaran dilakukan dengan cermat berdasarkan data yang akurat sesuai dengan kondisi aktual ekonomi makro dan mikro. Perhitungan dilakukan dengan metode yang jelas dan terukur, bukan dengan perkiraan-perkiraan dan kepentingan pihak tertentu. c. Akuntabel: Adanya tanggungjawab yang tinggi dari pemerintah (daerah) dalam mengelola anggaran sebagai amanat rakyat. Hal ini dicerminkan oleh: 1. Adanya komitmen pemerintah untuk mengelola anggaran secara transparan; 2. Adanya jaminan yang jelas terhadap hak-hak masyarakat dalam pelaksanaan anggaran; dan 3. Adanya prosedur pertanggungjawaban anggaran oleh pemerintah kepada publik yang diatur dalam suatu kebijakan/peraturan (daerah). d. Keadilan dan Proporsional: Anggaran dialokasikan secara proporsional pada sektor-sektor tertentu yang sifatnya mendesak dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas, sekaligus sebagai kompensasi pemerintah kepada kelompok masyarakat tertentu (miskin) untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang telah menciptakan ketidakadilan ekonomi. Selain menerapkan prinsip-prinsip tersebut, kebijakan anggaran yang baik harus pula disertai dengan memberikan ruang yang cukup bagi kegiatan yang berkaitan dengan evaluasi pelaksanaan anggaran. Dalam tahapan proses evaluasi anggaran, beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian diantaranya adalah: Setiap pelaksanaan anggaran dibuat laporannya dan disampaikan kepada lembaga audit dan publik. Adanya audit pelaksanaan anggaran oleh lembaga independen. Hasil audit disampaikan kepada legislatif dan publik. Setiap temuan audit ditindaklanjuti. Adanya keterlibatan masyarakat dalam melakukan kontrol pelaksanaan dan menindaklanjuti hasil audit anggaran. Adanya evaluasi dampak, baik dampak umum yang mencakup aspek ekonomi, politik dan sosial, maupun dampak khusus yang terjadi dalam suatu sektor atau program/proyek tertentu. Hasil evaluasi dampak ini kemudian dijadikan acuan untuk merumuskan anggaran pada siklus (tahun) anggaran berikutnya. Olehnya itu, anggaran pendidikan harusnya lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah kebawah apalagi dengan adanya subsidi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pendidikan itu sendiri. Demand untuk pendidikan lebih elastis terhadap kalangan masyarakat kaya daripada terhadap masyarakat miskin. Untuk itu, dibutuhkan subsidi agar kuantitas masyarakat miskin dalam menikmati pendidikan jauh lebih banyak, walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa subsidi yang diberikan langsung kepada sekolah membuat masyarakat kaya jauh lebih banyak menikmati anggaran pendidikan tersebut. Hal ini dapat dilihat dalam kurva berikut ini : Gambar 2.1. Kurva Permintaan Pendidikan oleh Masyarakat Miskin dan Kaya Berdasarkan gambar 2.1. diatas, dapat dijelaskan bahwa permintaan pendidikan oleh masyarakat miskin ada pada kurva Dm sedangkan permintaan pendidikan untuk masyarakat kaya ada pada kurva Dk. Jika biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh sebesar P0 maka jumlah murid dari masyarakat miskin akan ada di Q0 dan jumlah murid dari masyarakat kaya akan sebesar Q1. Namun dengan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah karena pendidikan merupakan barang publik, maka murid baik dari kalangan miskin maupun kaya akan menikmati turunnya biaya pendidikan ke P1 sehingga jumlah murid miskin dapat bersekolah akan naik dari Q0 ke Q2, selain itu jumlah murid dari masyarakat kaya akan bertambah dari Q1 ke Q3. Namun, karena subsidi itu diberikan kesekolah bukan kepada murid maka subsidi untuk kalangan murid miskin hanya dinikmati sebesar arsiran A, sedangkan manfaat subsidi yang diterima oleh murid dari kalangan masyarakat kaya adalah sebesar arsiran A dan arsiran B. Oleh karena itu perlu dilakukan analisa terhadap distribusi manfaat belanja pemerintah di sektor pendidikan dengan menggunakan Benefit Incidence Analysis (BIA) untuk melihat sejauhmana manfaat anggaran pendidikan tersebut terhadap kalangan masyarakat miskin. 2.6. Benefit Incidence Analysis Shelden dan Wasylengko (1992) menjelaskan bahwa literatur yang menjelaskan tentang Benefit Incidence Analysis (BIA) memiliki tiga (3) periode berdasarkan karakteristiknya. Periode pertama, sebelum 1975, BIA digunakan untuk menghitung manfaat yang diterima rumah tangga baik berdasarkan pada income per capita ataupun proporsi pendapatan pada rumah tangga. Periode kedua ditandai dengan tiga (3) pendekatan utama; 1) menggunakan data mikro yang menggambarkan tingkat kepuasan rumah tangga terhadap ketersediaan barang publik yang dibiayai dari belanja publik, 2) menggambarkan pentingnya criteria pendapatan rumah tangga dan menghitungnya berdasarkan pada ukuran rumah tangga, 3) pentingnya layanan sosial bagi masyarakat. Periode ketiga ditandai dengan mengistemasi kurva demand untuk berbagai macam layanan sosial. Penelitian tentang distribusi dampak belanja pemerintah dalam sektor pendidikan telah dilakukan oleh banyak peneliti di dunia. Menurut Juswanto (2010), Selowsky (1979) yang melakukan penelitian tentang distribusi dampak belanja pemerintah dalam bidang pendidikan di Kolombia dan Meerman (1979) yang melakukan penelitian di Malaysia. Keduanya merupakan pionir dari metode Benefit Incidence Analysis (BIA) ini. Shelden dan Wasylengko (1992) Benefit Incidence Analysis menguji belanja publik dengan berdasar pada tiga (3) kategori utama; 1) belanja publik terhadap barang umum, seperti pertahanan, 2) belanja publik pada barang publik khusus seperti layanan pendidikan dan kesehatan, 3) cash dan in kind transfer atau transfer ke daerah baik yang sifatnya cash maupun non cash. Cuenca (2008) Benefit Incidence Analysis (BIA) merupakan suatu alat analisis yang digunakan untuk menggambarkan bagaimana kebijakan pajak dan subsidi pemerintah berpengaruh terhadap distribusi kesejahteraan terhadap para penduduk. Dengan kata lain, mengevaluasi distribusi subsidi pemerintah terhadap beberapa kelompok masyarakat yang berbeda didalam sebuah komunitas besar khususnya kelompok masyarakat berdasarkan pada tingkat pendapatannya. Benefit Incidence Analysis (BIA) menurut Demery (2000) memberikan gambaran tentang siapa yang paling banyak menerima manfaat dari layanan publik, dan memberikan gambaran dampak kesejahteraan yang secara langsung diterima oleh kelompok dan rumah tangga individu yang berbeda. Benefit Incidence Analysis menurut Florencia CL dkk (1999) memiliki tiga langkah: 1. Mengistemasi biaya per unit barang/jasa dalam menyediakan layanan publik 2. Menjumlahkan subsidi yang diberikan kepada masing-masing individu/rumah tangga sebagai pemakai dari layanan publik tersebut. 3. Mengelompokkan individu-individu penerima layanan publik kedalam kelompok-kelompok yang berbeda kemudian di bandingkan. Perbedaan kelompok tersebut dapat berdasar pada tingkat pendapatan, wilayah dan lain-lain. Manfaat langsung menurut Janet S. Cuenca (2008) tergantung pada sikap rumah tangga/individu dalam menggunakan layanan publik pemerintah dan komposisi belanja pemerintah. Studi tentang BIA juga menggambarkan bahwa nilai suatu barang publik dapat diidentifikasi dengan biaya yang dikeluarkan untuk menyiapkan barang publik tersebut. Hal ini juga ditandai dengan manfaat yang diterima oleh penerima layanan publik berdasarkan pada tingkat pendapatan para penerima manfaat tersebut. BIA lebih mudah dipahami dalam hubungannya dengan konsep targeting dan proggresivitas dari belanja publik. Targeting sebagai suatu alat untuk menganalisis berbagai macam manfaat dari intervensi pemerintah dalam hal belanja publik. Semua targeting harus berdasar pada tujuan dasar yakni mengidentifikasi dengan benar rumah tangga/individu yang masuk kategori miskin atau tidak miskin. Targeting dalam arti peningkatan efisiensi program dengan peningkatan manfaat yang diterima oleh masyarakat miskin dengan berdasar pada anggaran yang baku (Coady, Grosh dan Haddinott, 2004 dalam Janet S. Cuenca, 2008). Juswanto, (2010) Benefit Incidence Analysis (BIA) dapat diilustrasikan dalam aljabar sederhana yang dapat diaplikasikan dalam masalah belanja pemerintah di sektor pendidikan. Manfaat dari belanja pemerintah pada level pendidikan (sekolah dasar, menengah dan pendidikan tinggi) berdasarkan pada kelompok pendapatan (j) sebagai berikut: Keterangan : Xj : nilai total belanja pendidikan yang diterima kelompok j Eij : jumlah murid dari kelompok j yang masuk tingkat pendidikan i Si : belanja pendidikan pada tingkat pendidikan i Ei : jumlah total murid pada tingkat pendidikan i i (1,.,3) : tanda tingkat pendidikan (dasar, menengah, dan universitas) Berdasarkan metode di atas ada empat (4) proses yang dapat diimplementasikan sebagai berikut : 1. Membuat rata-rata biaya per unit dalam menyiapkan layanan publik dengan membagi belanja pemerintah pada layanan tersebut dengan jumlah total pengguna layanan tersebut; Si/Ei. belanja pemerintah harus berdasar pada belanja aktual dan bukan pada alokasi anggaran. 2. Membuat ranking dari penduduk pengguna dari yang paling miskin ke yang paling kaya dengan menggunakan ukuran kesejahteraan dan menggabungkannya dalam kelompok dengan jumlah pengguna yang sama. Pendapatan total rumah tangga sebulan dapat diambil sebagai ukuran kesejahteraan 3. Menggambarkan jumlah partisipasi sekolah di tiap level pendidikan dalam setiap kelompok 4. Menderivasi/menghitung distribusi manfaat dengan merata – ratakan manfaat yang diterima oleh pengguna layanan dalam setiap kelompok. Dari hasil perhitungan tersebut maka pengeluaran publik akan dikelompokkan kedalam tiga (3) kelompok yakni progresif, netral dan regresif. Menurut Mawardi dan Sumarto (2003) bahwa analisa mengenai penerima proporsi manfaat dari belanja publik dapat dibedakan menurut kelompok penghasilan. Untuk membuat analisa demikian, metode umum yang biasa dipakai adalah dengan mengelompokkan masyarakat ke dalam 5 (quintiles) atau sepuluh (deciles) kelompok (dikelompokkan dari yang paling miskin sampai paling kaya). Berdasarkan pengelompokkan ini, dapat dilihat proporsi manfaat yang diterima oleh masing-masing kelompok. Dengan metode ini kemudian dapat disimpulkan apakah kebijakan belanja publik bersangkutan bersifat: a. Pro orang miskin (progressive), jika kelompok masyarakat miskin mendapatkan proporsi manfaat yang lebih besar daripada kelompok masyarakat kaya; b. Netral, jika proporsi manfaat yang dinikmati oleh kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat kaya relatif sama c. Pro orang kaya (regressive), jika proporsi manfaat untuk kelompok masyarakat miskin lebih kecil daripada yang dinikmati oleh kelompok masyarakat kaya. CARI PATOKANNYA Namun ada beberapa keterbatasan dari Benefit Incidence Analysis (BIA) menurut Van De Walle (1992) yakni sebagai berikut : 1. Setiap biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah memiliki hubungan yang kecil terhadap nilai manfaat yang diterima masing-masing individu. 2. Studi yang menggunakan BIA memberikan representasi yang tidak lengkap dari pengaruh kesejahteraan akibat belanja publik. 3. Membahas hanya pada dampak langsung dari belanja publik sementara dampak tidak langsungnya tidak mendapat porsi sama sekali. Padahal, banyak pengaruh tidak langsung yang dapat memberikan manfaat yang lebih banyak terhadap masyarakat. Sejalan dengan Van De Walle (1992), yakni Manasan (2007) dalam Prihastanto (2011) mengungkapkan empat keterbatasan dari metode BIA. Empat keterbatasan BIA tersebut adalah sebagai berikut: 1. BIA mengasumsikan bahwa manfaat dari layanan publik sama dengan biaya rata-rata penyediaan layanan publik tersebut. 2. BIA tidak dapat mengambarkan efek putaran kedua pada kesejahteraan yang dihasilkan oleh layanan publik tersebut. Manfaat tidak langsung dari beberapa layanan publik dimungkinkan berdampak bagi distribusi kesejahteraan sepanjang waktu. 3. BIA secara umum menetapkan distribusi pada manfaat rata-rata. Padahal distribusi manfaat marginal yang mencerminkan keadilan adalah penting. 4. BIA tidak menghitung pengaruh jangka panjang belanja pemerintah pada kelompok yang diuntungkannya. 2.7.Kurva Lorenz Metode lainnya yang lazim dipakai untuk menganalisa statistik pendapatan adalah Kurva Lorenz. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima misalnya satu tahun. Semakin jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal yang merupakan garis pemerataan sempurna, semakin timpang dan tidak merata distribusi pendapatannya. Semakin parah tingkat ketidakmerataan atau ketimpangan distribusi pendapatan di suatu negara, maka bentuk kurva Lorenznya pun akan melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah. 2.8.Penelitian Sebelumnya Penelitian tentang distribusi dampak belanja pemerintah dalam sektor pendidikan telah dilakukan oleh banyak peneliti di dunia. Selowsky (1979) melakukan survey terhadap 4.019 rumah tangga di Kolombia untuk meneliti siapa yang menerima manfaat dari sepertiga belanja pemerintah yang dialokasikan pada subsidi pendidikan dan kesehatan, listrik, air minum dan sewerage. Dia menemukan total subsidi pendidikan dinikmati oleh berbagai kelompok masyarakat yang telah dibagi menurut segmentasi pendapatannya. Subsidi pendidikan dasar bersifat progresif sedangkan subsidi pendidikan tinggi bersifat regresif. Meerman (1979) sebagian besar subsidi pendidikan dasar di Malaysia terdistribusi kepada kelompok miskin sedangkan subsidi pendidikan tinggi lebih banyak dinikmati oleh kelompok berpendapatan tinggi. Demery (2000) pada tahun 1989 kelompok masyarakat miskin menikmati manfaat subsidi pendidikan dasar sebesar 22% tetapi mereka tidak menikmati subsidi pendidikan tinggi. Kelompok masyarakat dengan pendapatan tertinggi menikmati 92% subsidi pendidikan tinggi yang diberikan pemerintah. Lanjouw et al (2001) belanja pendidikan sekolah dasar di Indonesia bersifat progresif. Kelompok termiskin menikmati 24,8% subsidi pendidikan sekolah dasar. Kuintil kedua menerima manfaat sebesar 23,5%, kuntil ketiga menerima manfaat sebesar 20,7%, kuintil keempat menerima manfaat sebesar 17,8% dan kelompok terkaya menikmati manfaat paling kecil yakni 13,1%. Belanja pendidikan sekolah menengah dalam penelitian tersebut disimpulkan regresif. Kelompok terkaya menikmati paling besar subsidi pendidikan sekolah menengah yakni 33,7% dan nilai manfaat menurun dari kuintil kelima ke kuintil pertama. Kuintil keempat menerima manfaat sebesar 23,9%, kuintil ketiga menerima manfaat sebesar 18,7%, kuintil kedua menerima manfaat sebesar 14,2% dan kelompok termiskin menerima manfaat sebesar 9,5%. Juswanto (2010) masyarakat berpendapatan rendah memiliki share terbesar dalam partisipasi pendidikan pada level pendidikan dasar dan masyarakat berpendapatan tinggi menikmati subsidi pendidikan sampai di level pendidikan tinggi. Distribusi belanja pada level pendidikan dasar disiapkan untuk masyarakat berpendapatan rendah. Pada sisi lain, belanja pendidikan di level pendidikan menengah terdistribusi pada masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi. Bahkan, belanja pemerintah di level pendidikan tinggi tidak hanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan tinggi, tetapi juga menggambarkan betapa besarnya ketidakmerataan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Pendapatan, tingkat pendidikan orang tua dan beasiswa memiliki pengaruh positif yang signifikan dalam meningkatkan peluang seorang anak untuk disekolahkan. Sedangkan umur anak dan ukuran keluarga memiliki korelasi yang negative dalam peningkatan kesadaran bersekolah. Namun demikian, gender, rasio murid dan guru dan variable perbedaan sekolah memberikan pengaruh yang berbeda terhadap partisipasi sekolah di lintas daerah dan level pendidikan. Prihastanto (2011), melakukan penelitian tentang Benefit Incidence Analysis pada belanja pendidikan di Kabupaten Klaten. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa jika dilihat dari persentase manfaat terhadap total pendapatan rumah tangga setahun pada tiap kuantil maka belanja pendidikan di Kabupaten Klaten bersifat progresif. Manfaat yang diterima kuantil pertama sebesar 12.182% merupakan manfaat terbesar dibandingkan kuantil lainnya. Kuantil kedua menerima manfaat sebesar 9.555% dari total pendapatan rumah tangganya selama setahun, kuantil ketiga menerima manfaat sebesar 8.575% dari total pendapatan rumah tangganya setahun, dan kuantil keempat menerima manfaat sebesar 8.401% dari total pendapatan rumah tangganya setahun. Sedangkan kelompok terkaya menikmati manfaat paling kecil yakni 4.032% dari total pendapatan rumah tangganya setahun. Hal ini mengindikasikan bahwa pemerintah sudah memberikan persentase belanja pendidikan yang berpihak kepada kelompok miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar