Selasa, 02 November 2010

MODAL SOSIAL DI CHINA DALAM MENDUKUNG PEMBANGUNAN

Salah satu topic menarik yang paling laris didiskusikan saat ini dalam bidang ekonomi adalah kemajuan ekonomi negara China yang demikian pesat. Banyak kalangan memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi China suatu saat akan mampu mengalahkan Amerika Serikat. Trend yang kemudian terjadi adalah keingintahuan masyarakat dunia terhadap apa yang terjadi di China, menyebabkan banyak diantara mereka yang kemudian mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang bagaimana China dimasa lalu dan bagaimana China saat ini dan prediksi China kedepan.

Sebelumnya kita harus mengetahui dahulu apa pengertian modal sosial. Coleman mnegemukakan bahwa modal sosial bukanlah entitas tunggal, tetapi entitas majemuk yang mengandung dua elemen yakni pertama modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur social dan kedua, modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (aktor) baik individu maupun perusahaan di dalam struktur tersebut (within the structure). Dari perspektif ini, sama halnya dengan modal lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yakni membuat pencapaian tujuan tertentu yang tidak mungkin diraih bila keberadaannya tidak eksis.

Terus, apa yang menyebabkan China mampu menjadi raksasa di Asia dan cikal bakal raksasa ekonomi dunia. Ternyata, dari beberpa tulisan yang dihimpun dari berbagai sumber menunjukkan beberapa modal sosial yang dimilki China yang kurang dan bahkan tidak dimilki oleh negara lain di dunia, yakni :

1. Percaya Diri dan Prioritas Pendidikan

I Basis Susilo mengemukakan kepercayaan diri adalah salah satu sifat yang dibangun dan dikembangkan Mao Zedong sejak awal 1930-an hingga 1970-an. Percaya diri itu dibangun sebagai jawaban atas ”penghinaan seratus tahun” (bainian guochi) sebelumnya oleh bangsa-bangsa Barat dan Jepang sejak Perang Candu 1840-1949. Begitu bernafsunya membangun kepercayaan diri, Mao memaksakan Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang menelan korban jutaan jiwa. Bagaimanapun, Mao menyumbangkan bangunan dasar bagi infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan yang memadai.
Karena itu, struktur bangunan dasar psikologis, ekonomis, sosial, dan politik untuk eksis dan maju, China secara alami tumbuh lebih kuat dan lebih percaya diri dibandingkan dengan, misalnya, Jepang dan Korsel yang harus menggadaikan sebagian kedaulatannya kepada AS. Prioritas pendidikan diperhatikan dan dijalankan para pemimpin China sejak Mao. Menurut Gang Guo (2007), selama Revolusi Kebudayaan, jumlah siswa masuk sekolah dasar meningkat separuh, sekolah menengah pertama naik empat kali lipat, dan sekolah menengah meningkat 14 kali lipat. Memang ada perdebatan terkait kualitas pendidikan. Namun, Mao memberi dasar distribusi yang lebih merata sumber daya manusia. Bila revolusi kebudayaan untuk SD-SMA, yang terkena langsung revolusi kebudayaan adalah yang lahir antara 1951 dan 1970, yang kini menjadi tulang punggung kemajuan RRC sejak 1990-an.

2. Reformasi Ekonomi dan Politik dan bergabungnya China kedalam WTO

Langkah selanjutnya yang dilakukan China menurut M. Edy Sentosa Jk. adalah reformasi ekonomi dan dan politik dan bergabungnya China ke dalam WTO (World Trade Organizations). Hal ini tak lepas dari reformasi ekonomi dan politik yang dilakukan China pada era Deng Xiaoping yang masih menegakkan ideologi komunisnya. Ini sangat menarik dibahas karena ditengah formasi sosialnya yang Sosialistik/Komunis, China dapat mengalahkan hambatan ideologis di tengah mainstream Globalisasi–sebagian kalangan menyebutnya–yang berwajah neoliberal. Tapi, yang jelas perubahan di China yang khas dan unik, dan semua faktor yang melatarbelakangi perubahan itu belum pernah ditunjukkan dalam buku teks ekonomi-politik baik liberal maupun sosialis.

3. Pengaturan Kelahiran

Menurut Ekodhanto, dengan kebijakan hanya 1 anak dalam tiap-tiap keluarga di China menjadikan China mampu menekan pertambahan jumlah penduduknya sampai 400 juta jiwa selama tiga decade, selain itu peningkatan ekonomi turut membantu kebijakan tersebut dijalankan. Seperti kita ketahui penduduk china saat ini adalah sebanyak 1,4 milyar jiwa, sebuah jumlah populasi yang jika pemerintah China tidak mampu mengelolanya menjadi pangsa pasar yang luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi dalam negeri, tentulah akan menjadi masalah yang berat.

4. Peran Keluarga

Modal sosial yang diajukan Francis Fukuyama, menekankan bahwa modal sosial memiliki kontribusi cukup besar atas terbentuk dan berkembangnya ketertiban dan dinamika ekonomi. Dalam konsepsi Fukuyama, modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok yang memungkinkan terjalinnya kerja sama di antara mereka. Apabila anggota kelompok mengharapkan anggota-anggotanya berperilaku jujur dan terpercaya, mereka akan saling mempercayai. Kepercayaan ibarat pelumas yang membuat jalannya organisasi menjadi lebih efisien dan efektif. dalam konteks ini, berarti modal sosial bukan hukum atau aturan formal, tetapi norma informal yang mempromosikan perilaku konsesual dan kerja sama yang juga di dalamnya terkandung kejujuran, pemenuhan tugas dan tanggung jawab, saling mengendalikan, dan kesediaan untuk saling menolong. Keluarga, dilihat Fukuyama, merupakan sumber penting bagi modal sosial. Apalagi di China dengan perbandingan 2:1 yakni 2 orang tua dan 1 anak berarti jumlah keluarga di China mencapai 467 keluarga, sebuah jumlah yang cukup besar dalam mempersiapkan generasi yang memiliki daya saing dan produktivitas yang sangat bagus.

5. Unsur Budaya

Menurut Wu Jiang, seniman terkenal dari Peking Opera, menyatakan bahwa orang China itu, makan daging sapi, tapi tidak tumbuh tanduk, makan daging ayam, tapi tidak tumbuh jengger. Ini adalah terkait dengan bagaimana bangsa China memegang falsafah tersebut. Dengan falsafah tersebut, bangsa China (serta keturunannya) diingatkan bahwa dimanapun ia berada, apapun yang dimakan, apapun yang diminum, apapun yang dilakukan sebagai pekerjaannya, dimanapun domisilinya, apapun agamanya, mereka semua tetaplah bangsa China. Merasa memiliki kewajiban untuk menjaga, mempertahankan, maupun mengaplikasikan nilai-nilai luhur yang telah digali oleh nenek moyang bangsa China. Inilah, katanya kemudian, yang membuat bangsa China menjadi bangsa yang memiliki karakter yang kuat.

Bahan Bacaan :

Ahmad Erani Yustika, 2006, New Institutional Economics Atau Ekonomi Kelembagaan (Definisi, Teori Dan Aplikasi) dalam Berita Jurnal FIA-UB

Budi Rajab, 2005, Membincangkan Modal Sosial, Pikiran Rakyat, 22 Februari 2005

Frans Ekhodanto, 2010, Belajar Dari Negeri Tirai Bambu, Koran Jakarta, edisi Minggu 10 Oktober 2010 hal. 5

I Basis Susilo, Percaya Diri, Prioritas Pendidikan dan Peta Jalan Kedepan.

M. Edi Santosa Jk, Di Balik Bergabungnya China Ke Dalam WTO Di Era “Interdependence” Dan Implikasinya

Michael P. Todaro, Stephen C. Smith, 2006 Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan Jilid 1. Penerbit Erlangga.

www.docjerri.com Falsafah Sapi China.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar