Minggu, 08 Januari 2012

ILLEGAL LOGGING DAN PENEGAKAN HUKUM KEHUTANAN DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) Simpul Papua, deforestasi di Indonesia semakin tidak terkendali. Hal ini diakibatkan oleh sistem politik dan ekonomi yang korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan sebagai sumber pendapatan yang bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Hal ini diperkuat dengan fakta-fakta sebagai berikut:
1. Lebih dari setengah kawasan hutan di Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan dan hak penggunaan lahan. Menurut klasifikasi pemerintah, saat ini hampir 30% dari konsesi HPH yang telah disurvey masuk kategori sudah terdegradasi.
2. Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia. Hampir 9 juta ha lahan sebagian besar adalah hutan alam telah dialokasikan untuk hutan tanaman industri.
3. Lonjakan pembangunan perkebunan terutama perkebunan kelapa sawit yakni 7 juta ha lahan hutan telah dirubah untuk perkebunan.
4. Pencurian kayu (illegal logging) turut memperburuk kondisi hutan dengan hampir 50-70% kebutuhan kayu untuk segala macam keperluan didapatkan melalui illegal logging dan telah menghancurkan 10 juta ha lahan hutan.
5. Pada era 1985 – 1997 terjadi pembukaan lahan baru sekitar 4 juta ha hutan untuk dicetak sebagai sawah baru tanpa mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan.
6. Program transmigrasi sejak era 1960 – 1999 telah membuka lahan hutan sebagai tempat pemukiman para transmigran sebesar 2 juta ha lahan hutan.
7. Pembakaran hutan secara sengaja oleh pengusaha HPH dan petani tradisional telah menghabiskan lebih dari 5 juta ha hutan pada tahun 1994 dan sekitar 4,6 juta ha lahan hutan pada tahun 1997-1998.
Kondisi tersebut diatas telah menjadikan hutan kita mengalami deforestasi dan degradasi hutan secara besar-besaran pada hampir 40 tahun terakhir. Kondisi ini diperparah dengan tiadanya usaha untuk menghijaukan kembali hutan yang telah dibabat habis dan ditinggalkan oleh pengusaha HPH maupun oleh petani tradisional akibat berkurangnya potensi lahan secara ekonomis.
Undang-undang kehutanan tahun 1967 memberikan dasar hukum pemberian hak memanen kayu dan banyak HPH besar diberi hak untuk mengelola hutan selama 20 tahun tidak lama setelah Undang-undang tersebut keluar. Undang-undang inilah yang memberi peluang kepada pengusaha kehutanan untuk mengelola hutan secara serampangan dan memulai terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia yang demikian massive dan tidak terbendung lagi.
Pada tahun 1995, ada sekitar 585 konsesi HPH yang luasnya mencakup 63 juta ha diseluruh Indonesia atau kira-kira sepertiga dari luas lahan hutan di Indonesia (Brown, 1993 dalam FWI Simpul Papua). Namun demikian, pada pertengahan tahun 1990-an beberapa izin HPH dicabut, sebagian karena pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemegang konsesi HPH dan sebagian karena nilai tegakan pohon dibanyak konsesi HPH menurun yang mengurangi daya tariknya sebagai kegiatan komersil jangka panjang.
Keadaan kawasan lindung menurut Critycal Ecosystem Partnership Fund, sering menghadapi masalah manajemen sebagai berikut :
1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang illegal dan perdagangan satwa liar, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal/pemerintah daerah.
2. Kemiskinan. Tingkat kesejahteraan para petugas dilapangan memberi andil dalam merebaknya tingkat pengrusakan hutan akibat pemberian izin yang tidak jelas.
3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi dari para pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pengelolaan hutan baik HPH maupun HTI.
4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi Menteri Kehutanan.
5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar. Sementara proses pembalakan dan perubahan fungsi hutan itu memberikan manfaat bagi masyarakat lokal yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
6. Dorongan untuk upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah difahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan yang illegal kurang memadai.
Beberapa faktor pendorong kerusakan hutan menurut Suarga, 2005 (Topo Santoso, 2011) antara lain adalah sebagai berikut :
1. Krisis ekonomi
2. Perubahan tatanan politik
3. Lemahnya koordinasi antar aparat penegak hukum
4. Adanya korupsi, kolusi dan nepotisme
5. Lemahnya system pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan
6. Harga kayu hasil tebangan liar yang lebih murah.
Departemen Kehutanan pada tanggal 15 Januari 2003 mengeluarkan informasi (berupa siaran pers) yang menggambarkan kondisi aktual kerusakan hutan tropis serta praktek illegal logging di Indonesia yaitu :
1. Hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai luasan 43 juta hektar dari total hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar dengan laju degradasi 4 tahun terakhir mencapai 2,1 juta hektar pertahun
2. Penebangan kayu liar dan peredaran kayu illegal mencapai 50,7 juta meter kubik/tahun, dengan perkiraan kerugian financial sebesar Rp 30,42 trilyun/tahun. Di samping itu ada kerugian secara ekologi yaitu hilangnya beberapa jenis/spesies keanekaragaman hayati
3. Penyelundupan kayu dari Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Riau, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi dengan tujuan negara Malaysia, Cina, Vietnam, India mencapai 10 juta meter kubik/tahun. Khusus dari Papua mencapai 600.000 meter kubik/bulan dengan kerugian sebesar Rp. 600.000 Milyar/bulan atau Rp. 7,2 trilyun/tahun
4. Kerusakan terbesar terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia. Di daerah perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur laju kerusakan seluas 150.000 hektar/tahun dan di perbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat seluas 250.000 hektar/tahun
5. Dari hasil kerjasama Dephut dengan TNI AL melalui Operasi Wanabahari pada tahun 2001 telah ditangkap 8 kapal, dengan barang bukti sitaan kayu log sebanyak 26.564 meter kubik dengan perkiraan penerimaan negara yang diperoleh sebesar Rp. 63,6 Milyar. Tahun 2002 ditangkap lima kapal dengan barang bukti sitaan berupa kayu olahan 2.500 meter kubik, kayu log 11.300 meter kubik perkiraan penerimaan negara sebesar Rp. 447 Milyar (Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002).

B. Pengertian Illegal Logging
Menurut FWI Simpul Papua, Illegal logging ada dua jenis yaitu : 1) yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya, 2) melibatkan pencuri kayu dimana pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.
Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2001 (Tuti Budhi Utami, 2007) illegal logging adalah penebangan kayu di kawasan hutan dengan tidak sah.
Haryadi Kartodiharjo, 2003 (Tuti Budhi Utami, 2007) illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan melebihi dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
Illegal logging berarti rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengelohan hingga kegiatan ekspor kayu tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan (Tuti Budhi Utami, 2007).
Operasi/kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak termasuk kategori illegal logging (LSM Indonesia Telapak, 2002).
Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan ekploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaran-pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran, dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan seperti penghindaran pajak (Wahyu Catur Adinugroho, 2009).
Selain illegal logging ada juga istilah pembalakan illegal, kerusakan hutan, pembalakan liar dan pembalakan yang merusak. Pembalakan illegal adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia (Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch).
Kerusakan hutan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Pembalakan liar yaitu rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai izin dari pihak berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hokum yang berlaku. Kegiatan ini dipandang sebagai perbuatan yang dapat merusak hutan. Suarga, 2005 (Topo Santoso, 2011).
Pembalakan yang merusak (destructive logging) yaitu penebangan hutan yang melanggar prinsip-prinsip kelestarian yang dilakukan oleh perusahaan kehutanan yang memiliki izin resmi dari pemerintah. (UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dalam Topo Santoso, 2011).
Berdasarkan pada beberapa pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa illegal logging adalah suatu kegiatan yang terdiri dari penebangan, pengangkutan, pengelohan dan pengiriman kayu yang dilakukan oleh secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-undangan baik yang dilakukan secara pribadi maupun oleh badan usaha.
Laksono, 2004 (Tuti Budhi Utami, 2007) pemerintah sejauh ini hanya melontarkan untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) maupun perdagangan kayu liar (illegal trading). Meskipun demikian, sejauh ini pemerintah tidak mempunyai konsep apalagi strategi kongkrit untuk memberantas penebangan liar.
Menteri Kehutanan, Prakosa (2002) tiap tahun negara diperkirakan mengalami kerugian hingga 31 Trilyun akibat illegal logging (pencurian, penebangan, peredaran serta perdagangan kayu secara illegal.
Luas areal hutan yang perlu direboisasi diseluruh Indonesia mencapai 43,111 juta hektar meliputi Pulau Jawa 111 ribu hektar serta di luar Pulau Jawa seluas 43 juta hektar. Idealnya, Pulau Jawa mempunyai hutan 30% dari luas daratan. Namun sampai saat ini baru 23% dikurangi lahan kritis yang mencapai antara 250 ribu ha sampai 300 ribu ha (Prakosa, dalam Kompas 5 Januari 2003).

C. Peraturan Perundang-Undangan Yang Terkait Dengan Kehutanan
Hukum kehutanan dimulai sejak diundangkannya Reglemen Hutan 1865, berturut-turut Reglemen Hutan 1874, Reglemen Hutan 1897, Ordonansi Hutan 1927, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PERPU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dan terakhir adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Semua produk hukum diatas merupakan hal khusus tentang kehutanan sehingga produk hukum kehutanan termasuk kategori les spesialis.
Menurut Tuti Budhi Utami, (2007) formulasi tindak pidana illegal logging dan penerapan sanksinya yang berlaku sekarang adalah sebagai berikut :
- Tindak pidana dibidang kehutanan dirumuskan dalam pasal 50 dan pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999,
- Subyek hukum illegal loging menurut UU 41 tahun 1999 tersebut adalah orang dalam pengertian baik pribadi, badan hukum maupun badan usaha diatur dalam satu pasal yang sama dengan pribadi sehingga badan hukum dianggap sama dengan pribadi.
- Ancaman pidana yang dikenakan adalah ancaman pidana yang bersifat kumulatif, pidana pokok berupa penjara dan denda, pidana tambahan berupa perampasan hasil kejahatan dan atau alat-alat untuk melakukan kejahatan, ganti rugi serta sanksi tata tertib.
- Pidana denda untuk korporasi belum dilengkapi dengan aturan khusus.
Olehnya itu, menurut Tuti Budhi Utami, (2007) bahwa untuk mengatasi hal tersebut maka kebijakan formulasi tindak pidana illegal logging yang akan datang diharapkan memuat secara jelas dan lengkap mengenai :
1. Definisi illegal logging,
2. Subyek hukum tindak pidana illegal logging (pribadi dan badan hukum atau badan usaha atau korporasi dan pegawai negeri dirumuskan dalam pasal-pasal yang komprehensif,
3. Sanksi pidana hendaknya dirumuskan tidak secara kaku kumulatif, namun lebih fleksibel dengan alternative atau kumulatif-alternatif.

D. Kendala Yang Dihadapi Dalam Pemberantasan Illegal Logging
Dalam Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002, ada 10 kendala yang dihadapi dalam pemberantasan illegal logging antara lain :
1. Ada 11 instansi yang berada dalam satu mata rantai dalam pemberantasan illegal logging yang sangat menentukan dalam penegakan hukum kejahatan bidang kehutanan yakni Menko Polkam, TNI AD, TNI AL, Polri, Dephut, Deperindag, Dephub, Bea Cukai, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pemda Provinsi/Kabupaten
2. Penegakan hukum masih lemah sehingga mafia kayu beraksi dengan bebas
3. Modus penebangan illegal: oknum aparat menjadi dinamisator dan supervisor tindak pidana kehutanan, disamping juga menjadi backing.
4. Kondisi moral, sosial dan budaya masyarakat serta aparat cenderung menjadi tidak lagi peduli pada kelestarian hutan dan penegakan hukum.
5. Ketahanan dan kemandirian masyarakat yang masih rendah dengan pembodohan yang berdalih pemberdayaan masyarakat
6. Masih ada industri pengolahan kayu yang menerima dan mengolah kayu illegal
7. Penanganan illegal logging saat ini belum mencapai hasil yang maksimal karena dilaksanakan secara tidak berkesinambungan akibat biaya yang cukup besar
8. Kompleksnya permasalahan sosial dan moral di berbagai lapisan masyarakat
9. Data dan informasi tentang penanganan illegal logging masih sangat terbatas
10. Pelaksanaan otonomi daerah yang lebih berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memperhatikan kelestarian hutan.
Selain itu ada beberapa kendala yang membuat aktivitas illegal logging sulit diberantas di Indonesia menurut Wahyu Catur Adinugroho, 2009 yakni :
1. Penebangan liar didukung oleh penyokong dana atau cukong yang beroperasi layaknya institusi kejahatan yang terorganisir.
2. Pembalakan liar dan praktek-praktek terkait lainnya semakin marak karena adanya korupsi
3. Terdapat suatu perasaan tidak nyaman pada individu-individu yang bertanggungjawab yang prihatin dengan pembalakan liar serta masalah-masalah yang terkait lainnya.
Kasus illegal logging tidak berdiri sendiri karena banyak kasus yang mengaitkannya dengan pemberian izin HPH dan HTI. Pelanggaran yang sering terjadi dalam pemberian HPH dan HTI adalah sebagai berikut :
1. Hak Pengusahaan Hutan (HPH):
a. Pemanenan kayu lebih dari jatah tebangan tahunan
b. Pemanenan kayu di kawasan-kawasan hutan lindung (lereng yang curam dan bantaran sungai).
c. Volume panenan yang dilaporkan lebih kecil sehingga pajak yang dibayar juga lebih sedikit.
d. Mengabaikan panduan tebang pilih.
e. Pemanenan di luar batas HPH.
f. Pemalsuan dokumen-dokumen transportasi kayu.
2. Hutan Tanaman Industri (HTI):
a. Menebang habis hutan alam kemudian tidak melakukan penanaman kembali
b. Tidak menanam pada tingkat yang diperlukan untuk mempertahankan produksi jangka panjang
c. Menanami kembali dengan spesies yang berjenis rendah
d. Menanami kembali dalam kerapatan yang rendah.
e. Memenuhi kekurangan pasokan dari hutan tanaman dengan pasokan antara dari hutan konversi
f. Menerima semua dokumen-dokumen kayu yang dipalsukan.

E. Pelaku Illegal Logging
Berdasarkan peranannya, Nurdjana dkk, 2005 dan Husein, 2007 (Topo Santoso, 2011) mengklasifikasikan para pelaku kejahatan kehutanan dalam tabel berikut :
Tabel. 1. Klasifikasi Para Pelaku Kejahatan Kehutanan Berdasarkan Peranan.
Pelaku Peranan
Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang Melakukan kegiatan penebangan secara langsung, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual kepada pengusaha kayu atau pemilik modal (cukong)
Pemilik modal dan pengusaha Sebagai fasilitator atau penadah hasil kayu curian, termasuk menjadi otak pencurian kayu
Pemilik industri kayu atau pemilik HPH Sebagai pencuri kayu maupun penadah kayu hasil curian
Nahkoda kapal Turut melakukan atau membantu melakukan penyelundupan kayu atau pembalakan liar
Oknum pejabat pemerintah dan oknum aparat pemerintah (Oknum TNI/Polri, Jagawana/PNS Kehutanan, PNS Bea Cukai, oknum Pemerintah Daerah/Anggota DPRD/Politisi Terlibat dalam KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) dengan pengusaha atau manipulasi kebijakan dalam pengelolaan hutan atau pemberian konsesi penebangan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.
Pengusaha Asing Sebagai pembeli kayu atau penadah hasil kayu curian. Terkait dengan kasus pencucian uang, ditemukan juga modus berupa pengusaha asing sebagai otak pencurian kayu, dengan menggunakan orang Indonesia lokal yang bertindak seakan-akan sebagai pengusaha kayu.

Di sektor kehutanan, pengusaha yang memanfaatkan kayu sebagai bisnis intinya ada beberapa kelompok, Suarga 2005 (Topo Santoso, 2011) yaitu :
1. Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
2. Industri Kayu (woodwork)
3. Industri Kayu Lapis (flywood)
4. Industri Mebel (furniture)
5. Pertukangan atau kerajinan
6. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI)
7. Industri Bubur Kayu dan Kertas
Selain itu, khusus dalam tahap investigasi awal kasus kejahatan di bidang kehutanan, kelompok usaha kehutanan dapat dibagi menjadi HPH/HPHTI dan kelompok industri. Sedangkan berdasarkan kepemilikan izin pengusaha kehutanan dapat juga dikelompokkan menjadi tiga kelompok seperti dalam tabel berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Kelompok Pengusaha Sektor Kehutanan Berdasarkan Perizinan.
Klasifikasi Keterangan
Pengusaha Putih Memiliki izin resmi, baik untuk kelompok HPH/HPHTI maupun kelompok industri. Batasan yang dapat diukur antara lain luas area yang ditebang pertahun sebesar 600.000 ha berdasarkan Rencana Karya Tahunan 20 juta M3 dan total kapasitas terpasang industry flywood sebesar 10 juta m3 pertahun. Dengan mengacu pada izin pemerintah, areal kerja resmi berdasarkan peta kerja Rencana Umum Tata Ruang, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, maka keberadaan usaha sektor kehutanan selama belum direvisi masih sah menurut hukum.
Pengusaha Abu-abu Memiliki izin usaha yang didapat setelah Orde Baru dan setelah pelaksanaan Otonomi Daerah yang secara yuridis berlaku apabila bebas dari pertikaian atau tumpang tindih kewenangan. Namun kenyataanya, peraturan yang lahir selama masa reformasi banyak yang memiliki tumpang tindih kewenangan sehingga dipandang lemah, sewaktu-waktu dapat dianulir atau diajukan judicial review.
Pengusaha Hitam Murni melakukan kegiatan melawan hukum atau tindak pidana seperti penebangan di hutan lindung, penyerobotan kawasan, pencurian kayu dan pemalsuan dokumen.
Sumber : Suarga 2005 (Topo Santoso, 2011)

F. Langkah-Langkah Yang Dapat Dilakukan Untuk Memberantas Illegal Logging
Dalam Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002, langkah-langkah strategis Depertemen Kehutanan untuk mengatasi illegal logging adalah sebagai berikut:
1. Menerbitkan SK Menhut Nomor 541/Kpts-II/2002, yang antara lain isinya mencabut SK Menhut Nomor 05.1/Kpts-II/2000, menghentikan sementara kewenangan Gubernur atau Bupati/Walikota menerbitkan HPH/Izin pemanfaatan hasil hutan. Penerbitan SK Menhut ini telah diperkuat dengan terbitnya PP. Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan kawasan hutan yang antara lain mengatur kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan dan hasil hutan
2. Menerbitkan SKB Menteri Kehutanan dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 1132/Kpts-II/2001 dan No. 292/MPP/Kep/10/2011 tentang Penghentian Ekspor Kayu Bulat/Bahan Baku Serpih yang dikuatkan dengan PP Nomor 34 Tahun 2002 yang dengan tegas melarang ekspor log
3. Melakukan kerjasama dengan TNI AL dalam pelaksanaan Operasi Wanabahari serta dengan Polri dalam pelaksanaan Operasi Wanalaga
4. Kerjasama dengan negara lain, yaitu dengan penandatanganan MoU dengan Pemerintah Inggris pada tanggal 18 April 2002 dan dengan RRC pada tanggal 12 Desember 2002 untuk pemberantasan illegal logging dan illegal trade. Diharapkan kerjasama serupa dengan Pemerintah Jepang serta beberapa negara lainnya akan segera menyusul
5. Memback-up operasi khusus di daerah sensitif seperti wilayah perbatasan, kawasan konservasi dan taman nasional terpilih.
6. Secara bersama melakukan operasi dilaut dan perairan
7. Memberikan back-up data intelijen
8. Pengawasan yang ketat terhadap oknum TNI di lapangan yang bertindak sebagai backing ataupun pelaku.
Menurut Majalah Intip Hutan, terbitan Juni 2004, solusi untuk mencegah tingkat kerusakan hutan di Indonesia adalah jika negara dengan aparatnya mengerjakan tugasnya menegakkan hukum dan memberantas korupsi, sementara pada saat yang sama LSM tak henti-hentinya mengkampanyekan penyadaran pentingnya penyelamatan hutan, dan konsumen kayu lebih peduli terhadap nasib hutan di Indonesia maka mungkin sekali kerusakan yang sudah separah ini bisa dicegah.
Bambang Setiono dan Yunus Husain, (2005) mengungkapkan jika pembalakan liar hanyalah suatu kejahatan yang melibatkan masyarakat miskin yang kehidupannya bergantung kepada hutan, sopir truk ataupun penjaga hutan yang bergaji kecil, kejahatan tersebut tidak akan sulit untuk dihentikan. Dengan keterlibatan penyokong dana pembalakan liar, yang biasa disebut cukong, industri kayu legal dan pegawai pemerintah, pembalakan liar menjadi masalah yang kompleks, tidak hanya bagi Indonesia tapi juga bagi komunitas kehutanan Internasional. Pendekatan penegakan hukum kehutanan yang dilakukan saat ini gagal menangkap otak dibalik pembalakan liar. Namun demikian, pendekatan penegakan hukum pencucian uang yang menggunakan pendekatan “mengikuti uang” dapat menjadi pilihan penting utnuk menghadapi aktor-aktor di belakang layar terjadinya pembalakan liar. Pendekatan baru ini mengharuskan bank dan penyedia jasa keuangan lainnya untuk lebih aktif dan hati-hati dalam menjalankan transaksi keuangan yang berkaitan dengan nasabah mereka. Nasabah bank dapat termasuk penyokong dana pembalakan liar, industri kayu, aparat penegak hukum, dan aparat pemerintah. Secara keseluruhan, penggunaan rezim anti pencucian uang secara efektif akan memberikan peluang untuk mendorong prinsip kehati-hatian perbankan dan pengelolaan hutan yang lestari serta untuk mengurangi kejahatan hutan.
Bambang Setiono dan Yunus Husain (2005) menambahkan, membasmi kejahatan yang berkaitan dengan kehutanan telah menjadi isu yang berkembang di tingkat Internasional sejak sekitar tahun 2000. Beberapa negara penghasil kayu di Asia, Afrika dan Amerika Latin terlibat dalam program multilateral dan bilateral dengan negara-negara pengkonsumsi kayu untuk melawan kejahatan kehutanan. Pada 13 September 2001, pemerintah Kamboja, Cina, Indonesia, Laos, Papua Nugini, Filipina dan Thailand menandatangani Deklarasi Tingkat Menteri di Bali untuk penegakan dan pengaturan hukum kehutanan. Deklarasi ini menyerukan agar segera diambil tindakan untuk memperkuat usaha-usaha nasional serta mempererat kerjasama bilateral, regional dan multilateral dalam rangka mengatasi pelanggaran hukum kehutanan dan kejahatan kehutanan (terutama pembalakan liar, perdagangan illegal terkait dan korupsi, serta dampak negatif pelanggaran-pelanggaran tersebut bagi penegakan hukum. Inisiatif Bali ini kemudian diikuti inisiatif internasional lainnya seperti :
1. Inisiatif Presiden AS mengenai pembalakan liar (Februari 2002)
2. Letter Of Intent Norwegia-Indonesia (Agustus 2002)
3. Nota Kesepahaman (MOU) Cina-Indonesia (Desember 2002)
4. Rencana Aksi Uni Eropa Untuk Pengaturan Penegakan Hukum Kehutanan dan Perdagangan (Mei 2003)
5. MOU Jepang-Indonesia (Juni 2003)
6. Deklarasi Menteri Afrika mengenai penegakan dan pengaturan hukum kehutanan dalam Africa FLEG (Oktober 2003)
7. Letter Of Intent Cina-Inggris (Mei 2004)
8. Lokakarya Tipologi Kelompok Asia Pasifik (APG) untuk pencucian uang 2004 di Brunei: Indonesia akan mengembangkan tipologi pembalakan liar.
Menurut Topo Santoso dkk, 2011, diperlukan suatu pendekatan penegakan hukum yang lebih terpadu, terintegrasi dan komprehensif. Hal ini dimaksudkan untuk bisa “mengeroyok” tindak pidana bidang kehutanan sehingga mendapatkan hasil yang lebih baik untuk melindungi sektor kehutanan kita. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya bertumpu pada kerangka hukum dan proses penegakan hukum tindak pidana di sektor kehutanan saja namun juga menggunakan kerangka hukum lainnya seperti anti korupsi dan bahkan lebih jauh anti pencucian uang. Dengan penggunaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka beberapa perbuatan yang berkaitan dengan pembalakan liar (illegal logging) dan bisa dimasukkan ke dalam rumusan atau unsur-unsur tindak pidana korupsi dapat dijerat dengan menggunakan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Perluasan alat-alat bukti dan pembuktian (termasuk pembuktian terbalik terbatas) serta teknik-teknik investigasi yang dimiliki penegak hukum bidang korupsi dapat lebih efektif digunakan karena dalam beberapa kasus kejahatan yang dilakukan dimulai dengan adanya beberapa bentuk korupsi.
Selain itu, lahan yang tersedia saat ini akan memberi pengaruh terhadap ketersediaan lahan hutan. Olehnya itu, penggunaan lahan harus dilakukan seefektif mungkin untuk menghindari perambahan hutan untuk mendapatkan lahan baru. Lahan yang ada sekarang sering dialihfungsikan dan tidak sesuai dengan peruntukan awalnya. Adapun langkah yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:
1. Pemberlakukan Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1990 tentang Larangan Alih Fungsi Lahan Sawah Untuk Penggunaan Selain Pertanian.
2. Pembentukan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) di bawah koordinasi Bappenas Tahun 1993.
3. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang
4. Pemberlakuan UU Nomor 69 Tahun 1996 tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan Tata Ruang
5. Pemberlakuan PP Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. (Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2002)
Hal ini penting karena, dengan semakin terbatasnya lahan untuk pemukiman maka satu-satunya jalan untuk mendapatkan lahan baru adalah dengan merambah hutan. Olehnya itu, diharapkan adanya kebijakan pemerintah dalam bentuk undang-undang yang bisa mengatur ketersediaan lahan dan menjaga keberlangsungan hutan di Indonesia.
Masih menurut Topo Santoso, (2011) penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini menunjukkan adanya beberapa undang-undang yang bisa diterapkan untuk penanganan kejahatan kehutanan yaitu :
1. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
2. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
3. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
4. UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Saat ini juga sedang dibahas RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pembalakan Liar dan RUU tentang Intelijen Negara yang intinya terkait dengan kejahatan kehutanan (Topo Santoso, 2011).
Menurut Wahyu Catur Adinugroho, 2009 penanggulangan illegal logging dapat dilakukan melalui kombinasi dari upaya-upaya pencegahan (preventif) penanggulangan (represif) dan upaya monitoring (deteksi).
Kegiatan preventif dapat dilakukan oleh pemerintah melalui tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Pembangunan kelembagaan termasuk reward and funishment kepada mereka yang terlibat,
2. Pemberdayaan masyarakat seperti pemberian akses terhadap sumber daya hutan agar masyarakat dapat ikut menjaga hutan dan merasa memiliki,
3. Pengembangan social ekonomi masyarakat,
4. Peningkatan dukungan sarana dan prasarana untuk menunjang profesionalisme SDM,
5. Pemberian insentif bagi masyarakat yang dapat memberikan informasi yang menjadikan pelaku dapat ditangkap,
6. Pengembangan program pemberdayaan masyarakat,
7. Melakukan seleksi yang lebih ketat dalam pengangkatan pejabat dilingkup kehutanan,
8. Evaluasi dan review peraturan perundang-undangan,
9. Perbaikan mekanisme pelelangan kayu hasil tangkapan dan atau temuan,
10. Relokasi fungsi kawasan hutan yang lebih rasional,
11. Penegasan penataan batas kawasan hutan,
12. Restrukturisasi industri pengolahan kayu termasuk penghentian HPHH dan ijin HPH skala kecil.
Tindakan penanggulangan (represif) dapat dilakukan dengan penegakan hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan sampai ke pengadilan. Untuk itu harus ada kesamaan persepsi antara masing-masing unsure penegak hokum yaitu penyidik (Polri dan PPNS) jaksa penuntut dan hakim. Karena besarnya permaslahan illegal logging, tindakan represif harus mampu menimbulkan efek jera sehingga sanksi hukum harus tepat.
Kegiatan monitoring (deteksi) dapat dilakukan dengan melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut :
1. Deteksi secara makro melalui potret udara sehingga diketahui adanya indikator penebangan liar seperti jalur logging, basecamp dsbnya,
2. Ground checking dan patroli,
3. Inspeksi di tempat-tempat yang diduga terjadi penebangan liar,
4. Deteksi di sepanjang jalur-jalur pengangkutan,
5. Inspeksi di log pond Industri Pengolahan Kayu Hutan (IPKH),
6. Inspeksi di lokasi industri,
7. Melakukan timber tracking,
8. Menerima dan menindaklanjuti adanya informasi yang datang dari masyarakat,
9. Pemeriksaan dokumen (izin, angkutan dan laporan) perlu lebih intensif terutama dokumen laporan dengan meneliti lebih seksama laporan-laporan yang mengandung kejanggalan-kejanggalan.


G. Rekomendasi Kebijakan
Setelah membahas tentang illegal logging dan pembalakan liar serta produk perundang-undangan yang terkait dengan kehutanan, maka dapat dibuat rekomendasi kebijakan sebagai berikut :
1. Adanya penegakan hukum bidang kehutanan dengan memberikan sanksi tegas kepada para pengusaha HPH dan HTI yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa pandang bulu dengan membekukan izin HPH dan HTI yang dimilikinya dan menghentikan pemberian izn HPH dan HTI baru.
2. Merivisi segala bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian hutan di Indonesia secara keseluruhan
3. Memberikan sanksi hukum yang tegas kepada para aparat hukum (TNI, Polri, Kejaksaan, Hakim, Bea Cukai) dan pejabat pemerintahan (Pegawai Kehutanan di semua level tingkatan pemerintahan mulai dari pusat, provinsi dan kabupaten/kota) yang diketahui menjadi backing sekaligus pelaku kejahatan kehutanan
4. Mengembalikan pengelolaan kehutanan secara terpadu kepada masyarakat tradisional dengan memberikan insentif kepada masyarakat yang dapat menjaga hutannya dengan baik.
5. Memberikan penegasan batas yang jelas terhadap semua jenis hutan.
6. Melakukan reboisasi dan penghijauan secara berkelanjutan untuk mendapatkan kembali hutan yang telah ditinggalkan oleh pengusaha HPH dan HTI.

Daftar bacaan :
1. Deforestasi dan Degradasi Hutan. FWI Simpul Papua. http://pdf.wri.org/indoforest_chap3_id.pdf
2. Ekosistem Hutan Sumatera Didalam “Hotspot” Keanekaragaman Hayati Sundaland, Critical System Partnership Fund. www.cepf.net/Documents/final.bahasa.sundaland.sumatra.ep.pdf
3. Tuti Budhi Utami, 2007. Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Illegal Logging.
eprints.undip.ac.id/17562/1/TUTY_BUDHI_UTAMI.pdf
4. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia 2002. images.prabang.multiply.multiplycontent.com/.../...
5. Majalah Intip Hutan Edisi Juni 2004. Memberantas Penebangan Merusak Bersama Kapal Warrior. fwi.or.id/publikasi/intip_hutan/Memberantas.pdf
6. Bambang Setiono dan Yunus Husain, 2005. Memerangi Kejahatan Kehutanan dan Mendorong Prinsip Kehati-hatian Perbankan Untuk Mewujudkan Pengelolaan Hutan Yang Berkelanjutan: Pendekatan Anti Pencucian Uang. Occasional Paper Nomor 44. Center For International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-44i.pdf
7. Topo Santoso dkk, 2011. Panduan Investigasi dan Penuntutan dengan Pendekatan Hukum Terpadu. Center For International Forestry Research (CIFOR). Jakarta. data.tp.ac.id/dokumen/penuntutan+hukum
8. Wahyu Catur Adinugroho, 2009. Penebangan Liar (illegal logging) Sebuah Bencana Bagi Dunia Kehutanan Indonesia yang Tak Kunjung Terselesaikan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. rivafauziah.files.wordpress.com/.../penebangan-liar-sebuah-bencana-...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar